Pengadilan HAM Adhoc di Indonesia

Sepanjang sejarah semenjak berdirinya Republik Indonesia hingga kini hanya dua pengadilan HAM adhoc yang pernah dibentuk oleh Keppres, yang pertama, Peristiwa Jajak Pendapat serta kejadian pasca Jajak Pendapat yang terjadi di Timor Timur (Timor Leste) pada tahun 1999.

Sedangkan, yang kedua yaitu peristiwa Tanjung Priok pada bulan September 1984. Praktis jika merujuk pada perjalanan sejarah semenjak terbentuknya Pengadilan HAM hanya ada satu peristiwa pada masa orde baru yang dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat masa lampau yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984. Sedangkan satu lagi yaitu peristiwa pasca orde baru yaitu peristiwa jajak pendapat di Timor Timur.

Dari kedua pengadilan HAM Adhoc tersebut, jika merujuk pada pada pengadilan HAM Adhoc Tanjung Priuk, maka tak ada satupun pelaku yang diajukan ke pengadilan pada akhirnya diputus bersalah.

Padahal dalam salah satu tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terdapat penggabungan perkara pidana dengan perdata, dimana tanggung jawab negara dimintakan untuk mereparasi korban dengan memberikan kompensasi kepada korban.

Namun pada tingkat Mahkamah Agung karena pelakunya dinyatakan tidak bersalah atau tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum sehingga kompensasi yang telah diperjuangan team Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dilaksanakan.

Lalu timbul pertanyaan saya, kenapa mahasiswa masih memaksakan untuk pelaku pelanggaran HAM berat masa lampau untuk diajukan ke pengadilan HAM Adhoc? Apakah mahasiswa telah melakukan kajian secara mendalam tentang hal tersebut? Padahal bagian terpenting dari penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lampau itu bukan pelaku akan tetapi korban.

Jika dalam dua Pengadilan HAM Adhoc yang telah gagal mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, menurut hemat saya jika mahasaiswa menuntut untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau dengan membawa pelaku ke pengadilan HAM, bukankah justru hal tersebut melanggengkan impunity? Jadi apakah mahasiswa benar-benar membela kepentingan korban pelanggaran HAM berat masa lampau?

Berbagai pertanyaan diatas terus menggelitik pikiran saya hingga kini, apakah justru aksi moral mahasiswa yang menuntut pemnyelesaian perkara pelanggaran HAM berat dengan hanya meminta pelaku diadili akan tetapi tanpa menyebutkan pentingnya korban malah jadi berbalik bahwa tuntutan tersebut adalah upaya melanggengkan impunity dan sama sekali tidak memikirkan korban pelanggaran Ham berat masa lampau.

Seharusnya terlebih dituntut adalah penyempurnaan mekanisme yudisial dalam Undang-undang pengadilan HAM, semisalnya pemyempurnaan mekanisme pembentukan pengadilan HAM adhoc, mengedepankan kepentingan korban kejahatan diatas kepentingan pencarian pelaku serta penyempurnaan mekanisme hukum acara seperti pemberian restitusi, kompensasi dan rehabilitasi yang tidak dipentingkan pada pernyataan bersalah dari pelaku yang diajukan ke persidangan pengadilan HAM.