BERITABETA.COM, Ambon - Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendesak Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PKS.

JMS juga meminta Baleg DPR RI untuk mempertimbangkan draft usulan dari JMS dan Komnas Perempuan sebagai rujukan substansi. 

Desadakan ini disampaikan tiga aktivis perempuan yang tergabung dalam JMS masing Mike Verawati, Yustin Fendrita dan Lusi Peilouw dalam siaran persnya yang diterima beritabeta.com, Sabtu (17/7/2021).

Mike Verawati mengatakan, JMS mengapresiasi kerja Baleg DPR RI yang telah empat kali menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU PKS.

“Meskipun saat ini Indonesia sedang mengalami gelombang tinggi Covid-19, namun Baleg telah menyelengarakan RDPU selama dua hari berturut turut  pada tanggal 12 Juli 2021 dan pada Tanggal 13 Juli 2021. Tentu kita sampaikan apresiasi untuk hal ini,” ungkap Mike.

Menurutnya, kinerja Panja RUU PKS dengan menghadirkan kelompok yang potensial melakukan penolakan maupun yang mendukung RUU PKS, termasuk mengundang perwakilan JMS, praktisi dari Psikolog P2TP2A Jakarta, Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Cendekiawan Muslimah Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pakar Hukum Universitas Gajah Mada dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, merupakan sebuah langkah positif.

Seperti diketahui dalam RDPU, Psikolog UPT P2TP2A DKI Jakarta, Vitria Lazarini telah mengungkap fakta lapangan bahwa kekerasan seksual semakain tinggi dialami oleh anak perempuan, khususnya dimasa Pandemi Covid-19.

“Kekerasan seksual dilakukan dengan mengunakan modus bujuk rayu, relasi kuasa, tipu daya, gank rape,” ungkap Vitria.

Vitria mengungkapkan, proses hukum kasus kekerasan seksual sulit dibuktikan dan berdampak psikologis bagi korban. Bentuk-bentuk kasus, antara lain disebutkan kekerasan seksual yang diakukan dalam hubungan keluarga (incest), pelecehan seksual di lingkungan kerja, perkosaan berkelompok, pemanfaatan relasi pertemanan, dan pemanfaatan teknologi digital.

“Proses penegakan hukum masih tidak ramah, menimbulkan kekerasan berulang dan berlapis,” pungkasnya.