Oleh: Lusi Peilouw (Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU TPKS / Direktur INAATA Mutiara Maluku )

Perjalanan panjang penuh lika-liku telah dilewati oleh Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Jatuh-bangun tidak terbilang.

Setelah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI pada Januari 2022, Pemerintah bekerja keras menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai bahan untuk Pemabahasan Tahap I. Proses penyiapan DIM itu berlangsung secara partisipatif, melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil, tidak hanya yang berbasis di Jakarta namun juga di daerah, termasuk kami di Maluku.

Hingga Senin 4 April 2022, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Panja RUU TPKS) bersama Pemerintah dapat merampungkan harmonisasi pembahasannya pada Tahap I.

Tulisan ini ingin mengemukakan sejauh mana kepentingan perlindungan korban di Maluku terakomodir masuk dalam DIM RUU TPKS dan pembahasannya.

Untuk Maluku, selama advokasi RUU ini kami memperjuangkan 2 (dua) hal khusus yang menjadi kebutuhan daerah kita. Hal pertama adalah perlindungan dan pemenuhan hak korban berbasis kepulauan.

Daerah kita yang terdiri dari pulau-pulau ini memunculkan ketimpangan akses hukum dan keadilan bagi korban. Layanan perlindungan hanya tersedia di pusat-pusat kota / kabupaten. Itu pun tidak merata.

Di Kabupaten Buru Selatan, misalnya, tidak ada OPD khusus yang menangani urusan perlindungan Perempuan dan Anak. Sudah tentu, lembaga layanan pun tidak ada di sana. Satu-satunya mekanisme layanan yang dapat diakses masyarakat adalah kehadiran 1 orang SAKTI Pekerja Sosial yang berada di bawah Kementerian Sosial.

Itu sebabnya, ketika muncul kasus Incest pada 2 anak JN dan FN di Februari kemarin, , advokasi hukum dihandle langsung dari Ambon. Untuk penanganan Psikologis korban JN, Kementerian Sosial melalui tenaga Peksos yang ada memfasilitasi korban untuk ditangani di Ambon.

Ini Buru Selatan yang dapat dijangkau dari Ambon dengan beberapa menit duduk di pesawat atau separuh hari berlayar dengan Feri atau Kapal Cepat. Kita bisa membayangkan bagaimana lebih memprihatinkan situasi perempuan dan anak korban di puau-pulau yang jauh dari Ambon maupun dari jangkauan pemerintah di pusat kabupaten.

Tentu, perempuan dan anak korban pada konteks ini hanya bisa meratapi nasib sebagai korban, terbelenggu trauma dan segala dampaknya sosialnya, seumur hidup. Dan sayangnya, hal ini terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah daerah menjawab realita Geo-politik yang ada dengan dengan kebijakan publik yang adil dan setara.

Hal kedua adalah, praktek adat-istiadat yang masih banyak merugikan perempuan dan anak korban Kekerasan Seksual. Sejak bulan Desember 2021 saja, kita mengikuti pemberitaan media tentang beberapa kasus perkosaan dan setubuh anak yang terjadi di komunitas-komunitas adat, korban tidak bisa mendapatkan keadilan, dikarenakan tokoh-tokoh adat yang notabene punya posisi kuasa yang lebih dari korban dan keluarganya korban menjadi alat perlindungan bagi pelaku.

Korban dan keluarga, bahwan masyarakt yang hendak membawa kasus ke kepolisian menjadi tidak berdaya bahkan terintimidasi.

Parahnya lagi, Aparat Penegak Hukum dan Pemerintah Daerah tidak berdaya memberikan perlindungan bagi korban, keluarga dan saksi. Padahal, konstitusi negara kita maupun instrument Hak Asasi Manusia, jelas-jelas menempatkan mereka sebagai pemegang kewajiban (Duty Beraer) untuk pemenuhan, perlindungan dan penghargaan atas hak korban sebagai Manusia.