Oleh : Moh. Ridwan Litiloly (Aktivis dan Penggiat Demokrasi)

Willy Aditya Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah mengatakan draf RUU TPKS ditargetkan mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR RI pada 15 Desember 2021 ini.

Pastinya pernyataan Willy menjadi kabar gembira bagi kaum-kaum hawa, terkususnya aktivis perempuan yang telah berjuang sedari dulu agar RUU tersebut dapat disahkan.  Yaa, meskipun masi sebatas “kemungkinan” untuk bisa terjadi.

Upaya legalisasi payung hukum yang dinilai bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual memang selalu menghadapi jalan terjal.

RUU TPKS,  yang dulunya masih bernama RUU PKS, sebenarnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dari tahun 2016. Namun sayangnya dengan dalil pelegalan zina dan LGBT, pembahasan RUU PKS justru mengalami pertentangan oleh sebagian kelompok masyarakat, terutama yang berafiliasi dengan ormas keagamaan oposisi yang menyebabkan hingga saat ini RUU tersebut belum dapat disahkan.

Padahal, dengan kondisi yang saat ini, sebuah prodak hukum yang secara spesifik mengatur kekerasan seksual terhadap perempuan sanagat dibutuhkan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Kemudian jumlah total kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak hingga 3 juni di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus.

Artinya, dengan peningkatan kasus yang begitu besar, dapat disimpulkan bahwa hanya dengan mengandalkan Undang-Undang seperti KUHP belum mampu membendung peningkatan kasus-kasus kekerasan seksual dan melindungi para korbanya.

Dari sisi pendefenisian, KUHP dalam konteks kekerasan seksual hanya menyentuh pada perkosaan dan pencabulan saja. Berbeda dengan RUU TPKS yang membicarakan kekerasan seksual pada 9 jenis, yang diantaranya soal pelecehan seksual, memaksa perkawinan, memaksakan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.

Dengan begitu, jangkauan hukum RUU TPKS lebih luas dalam menjerat para predator-predator seksual yang sering lolos  karena tidak ada yang memenuhi  unsur legalitas sebagai tindakan pidana KUHP.

RUU TPKS ini kehadiranya begitu penting, karena selain melindungi para korban, dalam nomenklaturnya juga mengatur tentang rehabilitasi bagi para pelaku yang diatur dalam pasal 88 ayat 3.

Dengan sendirinya, kehadiran RUU ini tidak hanya memberikan efek jera kepada pelaku dari sisi hukum saja, melainkan ada upaya memperkecil angka kasusnya melalui perbaikan mental dan psikologi para pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya lagi.