MENGAMATI pergerakan para politisi dan tingkat penerimaan public belakangan ini, sama halnya dengan menonton peran perempuan dalam dunia perfilman. Bedanya, film merupakan hasil karya sang sutradara dengan alur dan peran antagonis  dan protagonist yang telah ditetapkan.  Sedangkan dunia politik dengan pesta demokrasinya sukar ditebak hasilnya, namun bisa dianalisa melalui peran protagonis yang dimainkan setiap pelakunya.

Tanpa setingan sutradara, aktor dan aktris dalam pentas politik harus menjalankan peran protagonisnya dengan baik. Dan belakangan peran ini mampu dimainkan para politisi perempuan dengan gemilang, ketimbang  politisi pria.

Geliat politisi perempuan cukup terasa terlihat di Maluku. Banyak politisi perempuan yang tampil memukau bahkan lebih mendapat tempat di hati publik. Meski hasil dari lakon protagonisnya baru akan terlihat di tanggal 17 April 2019 mendatang, tapi sepertinya kans (peluang) politisi perempuan itu makin terbuka.

Dinamika ini lebih terasa jika kita mengamati upaya dalam perebutan kursi DPR-RI yang kini dijalani sejumlah parpol. Sepertinya dua slot kursi dari empat kursi yang diperebutkan lewat Dapil Maluku, akan kembali diisi oleh dua srikandi dari Maluku.

Lalu apa kesamaan antara dunia perfiliman dengan dunia politik saat ini? Ada sebuah pergeseran dinamika yang cukup terasa. Kondisi ini hampir setara dengan keberadaan perempuan di pentas perfiliman.

Sebuah cacatan studi menunjukkan hanya 12% dari keseluruhan film yang rilis pada tahun 2014 memiliki karakter perempuan sebagai tokoh protagonisnya. Di sisi lain, 75% film di tahun yang sama memiliki laki-laki sebagai tokoh protagonisnya. Belum lagi ketika kita membicarakan porsi dialog perempuan dalam film. Hanya 30% film yang memberikan dialog signifikan terhadap karakter perempuannya.

Karakter-karakter perempuan yang berasal dari ras selain kulit putih kerap digambarkan dengan stereotip ras yang berlebihan (jika tidak ingin dibilang rasis). Misalnya saja, perempuan Negro digambarkan sebagai perempuan lancang yang tidak tahu sopan santun, perempuan Latina selalu ditampilkan sebagai perempuan seksi, perempuan Asia digambarkan sebagai gadis polos yang mengundang ‘hasrat’, dan sebagainya.

Beberapa film seperti Spy, Ghostbusters (2016), dan Mad Max: The Furious Road sudah mendobrak stigma tersebut. Namun film itu tidak hanya memfokuskan jalan cerita pada penampilan perempuan tersebut, tapi juga pada talentanya sebagai seorang mata-mata yang baik. Dalam film Mad Max, Furiosa, sang tokoh utama film tersebut, tidak hanya digambarkan sebagai karakter yang kuat dan cerdas, tapi ia juga tidak pernah sekalipun digambarkan sebagai objek seksual.

Tentu, masih ada pencelaan terhadap karakter-karakter diatas. Susan Cooper dalam film Spy dicela karena dianggap ‘kurang realistis’, sebab dunia tidak siap menerima perempuan berbadan besar yang pandai berkelahi. Furiosa dicela karena terlalu sanggar dan tidak terlihat ‘indah’. Kristen Wiig, Mellisa McCarthy, Kate McKinnon, dan Leslie Jones dianggap telah merusak esensi utama dari franchise Ghostbusters karena film tersebut memutuskan untuk tidak memotret mereka sebagai obyek seksual.

Itu dulu, sakarang? Kondisinya malah berubah drastis  kita telah menerima kenyataan bahwa perempuan berada di layar kaca bukan semata-mata untuk menjadi pemanis layar. Perempuan bukanlah sebuah cangkang kosong. Jika laki-laki bisa terlihat cerdas di layar kaca, mengapa perempuan tidak? Jika laki-laki bisa digambarkan menjadi sebuah tokoh kompleks yang dicintai oleh penontonnya, mengapa perempuan tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama?

Nah, sepertinya realita ini juga berimbas di pentas politik. Terlebih lagi menuju pesta Pileg 2019 mendatang, sosok politis perempuan sepertinya makin mendapat tepat di hati publik Maluku. Memang eksistensi politisi perempuan bukan merupakan barang baru di Maluku, pemilu 2014 silam telah menjadi babak fenomenal dalam sejarah politisi perempuan menuju perlemen di Senayan. Rohani Vantah dari PKB dan Mercy Ch. Barends dari PDI-Perjuangan telah memulai semua itu.

Di pemilu 2019 mendatang, sepertinya kans itu akan kembali terulang. Seperti halnya di dunia perfiliman, kepantasan perempuan  mendapatkan representasi yang layak di layar kaca, juga akan terjadi pada pesta politik lima tahunan ini.

Lalu siapa dua wakil Maluku dari politisi perempuan itu? mungkin tidak berlebihan jika saat ini, prediksi itu akan tepat berada pada dua sosok yang lebih condong memainkan peran protagonis itu. Mereka adalah Mercy Ch. Barend (incumbent) dan Habiba Pelu sebagai pendatang baru di arena Pileg 2019 menuju kursi Senayan.

Meski beberapa survey terang-terangan menyampaikan hasil yang sama sekali tidak menempatkan kedua srikandi Maluku ini di posisi aman, namun sepertinya sikap malu-malu mempublis hasil survey secara terbuka dengan tidak melibatkan pers, juga pertanda buruk, bahwa survey yang dilakukan sangat subjektif. Mungkin juga ada alasan lain yang membuat survey tidak dipublish secara terbuka. Namun, sepertinya kedua sosok ini tidak bisa dianggap remeh, karena memiliki jejaring kerja yang cukup militen, karena keduanya berasal dari aktivis sosial yang kemudian hijrah dan terjun sebagai politisi.

Jika prediksi ini benar, maka Maluku layaknya disebut Hollywood kedua, yang sudah berhasil menebas stigma politisi perempuan di pentas demokrasi lokal. Sebab, sesungguhnya kedua sosok politisi ini memang layak untuk berada di Senayan mewakili Maluku di masa mendatang (***)