Dari data dan angka tersebut, tentunya juga memerlukan evaluasi dan proyeksi kembali pada pengaplikasian kurikulum pembelajaran maupun sistem pendidikanya. Kurikulum pendidikan kita harus benar-benar bisa mengadopsi  kebutuhan dan tantangan  yang berkembang dalam masyarakat. Kurikulum yang orientasinya mengarah pada pembentukan karakter baik siswa maupun kepada tenaga pengajar atau dosenya.

Ini membutuhkan peran penting dari pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Institusi negara tertinggi yang mengayomi dunia pendidikan. Apalagi Nadiem Makarim sebagai Mentrinya, dalam upaya mewujudkan keinginan Presiden Joko Widodo  menciptakan Sumber Daya Manusi Unggul, telah menekankan dalam 5 visi besarnya di bidang pendidikan dengan memprioritaskan aspek pendidikan karakter sebagai point pertama.

Namun selama beberapa tahun pemerintahan ini berjalan, kita belum melihat hasil nyata dan capaian-capaianya menjauhkan dunia pendidikan dari serangan-serangan kekerasan seksualitas.

Sebenarnya jalan-jalan terjal ini bisa saja mudah dilalui asalkan ada kesadaran untuk menjadikan kasus kekerasan seksusal terhadap perempuan dan anak sebagai musuh bersama (common enemy).

Jika perdebatan terkait RUU TPKS ini hanya berkutat pada persoalan diksi dan narasi yang menimbulkan interpretasi lain, tentu itu hanya persoalan tehknis yang bisa diselesaikan dengan duduk bersama, bukan malah menunda dan membatalkan pembahasan.

Kemudian pada tataran dunia pendidikan, sistim beserta kurikulum pemebelajaran yang berorientasi pada pembentukan karakter dan moral peserta didik harus benar-benar terimplementasikan. Proses perekrutan para tenaga pengajar baik guru dan dosen harus melalui tahan yang memang selktif, dan hal ini juga seharusnya dibuat dalam aturan yang baku (*)