Komitmen dan keseriusan pemerintah sebagai pembuat regulasi (regulatory) dalam melawan kekerasan seksual akan di uji melalui pengesahan RUU TPKS diakhir 2021 ini.

Jika masih tertunda dengan beragam argumentasinya seperti yang lalu-lau, Maka bisa disinyalir ada upaya pembiaran dari sekolompok orang agar masyarakat terkususnya perempuan-perempuan Indonesia tetap berada pada posisi  ketidak pastian norma dan hukum atas perlindungan mereka.

Akan ada presepsi publik atas pebiaran kekososngan hukum dalam memberikan pencegahan, penanganan, hingga pemulihan terhadap kekerasaan seksual. Dengan begitu, perempuan Indonesia akan tetap berada dalam keadaan yang seperti dikatakan Emile Durkheim absence of social regulation normlessnee [tidak adanya norma-norma peraturan sosial].

Gagalnya Pembentukan Karakter

Selain kepastian legalisasi RUU TPKS, dunia pendidikan yang seharusnya menjadi laboratorium pencetak sumber daya manusia dangan akhlak yang memerangi kejahatan kekerasan seksual, juga turut mengalami perjalanan yang terjal.

Seperti yang kita ketahui, para predator-predator kekerasan dan pelecehan seksual muncul dari berbagai latar belakangnya, baik itu pelakunya dari golongan tidak mampu, sampai kepada orang yang mapan hidupnya, pelaku yang terbatas pendidikanya hingga orang yang berpendidikan tinggi.

Ini artinya, keinginan melakukan hal tersebut tidak didasari oleh faktor ekonomi ataupun pendidikan, melainkan soal karakter dan kepribadian.

Berbicara soal karakter dan kepribadian, lembaga pendidikan formil pada tiap tingkatan (wajib belajar 9 tahun hingga perguruan tinggi) tentunya menjadi salah satu institusi yang paling bertanggungjawab. 

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional, dijelaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran.

Tentunya dengan tujuan agar peserta didik aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki  kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kebperibadian, kecerdasan, ahklak mulia serta keterempilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Namun realitasnya tidak seperti tujuan suci dari UU tersebut. Dari data Komnas Perempuan, sepanjang 2015-2020 menunjukan dari keseluruhan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi.

Data tersebut diperkuat dengan survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 yang menunjukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga  lokasi terjadinya kekerasan seksual (15 persen), di bawah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).