Dalam pembahasan draft RUU TPKS maupun DIM dari Pemerintah, kami terus  mendorong dua hal ini untuk diakomodir masuk.

Mencermati DIM yang telah selesai dibahas, kedua kebutuhan Maluku ini terakomodir dalam beberapa point DIM, antara lain:

1. Kewajiban pemerintah untuk membentuk Pusat Layanan Terpadu, dan memastikan peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban KS di dalamnya. Dengan demikian, nantinya Pemerintah Daerah harus memastikan kehadiran Pusat Layanan Terpadu di daearh masing-masing, dan memastikan mekanisme layanan berbasis masyarakat pun akan dilibatkan.

Sebagai masyarakat sipil, kami akan mendorong terbentuknya lembaga-lembaga layanan berbasis masyarakat di pulau-pulau, paling tidak dengan memnfaatkan sumebrdaya seperti organisasi keagamaan di tiap desa atau kecamatan. Hal ini akan membantu menjangkau korban di pulau-pulau yang selama ini menjadi kegelisahan kami.

2. Adanya ketentuan bagi pemerintah untuk menghadirkan victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penangan perkara kekerasan seksual. Mengingat, terbanyak kali Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota berkelit bahwa daerah tidak punya cukup anggaran.

Beberapa hari belakangan ini, kesohor berita di berbagai media perihal harga pengadaan Gorden untuk Rumah Dinas DPRD kabupaten setempat, yang nilainya menembus angka 90 juta. Padahal layanan bagi korban di kabupaten ini sangat buruk. Tidak ada anggaran yang memadai untuk penanganan kasus.

Jadi, adalah sebuah kebohongan dan kebodohan jika keterbatasan anggaran menjadi alasan. Soalnya adalah political will. Mau atau tidak mengalokasikan pagu anggaran untuk perlindungan korban. Kehadiran victim trust fund dalam UU TPKS nanti akan menjadi harapan bagi korban.

3. Adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban. Poin ini akan menjadi kekuatan bagi korban, keluarganya dan saksi dalam konteks adat budaya, untuk memperjuangkan keadilan bagi korban.

Sebagai pegiat kerja-kerja pemenuhan hak korban Kekerasan Seksual di Maluku, kami mengapresiasi kemajuan dan semua capaian ini.

Di luar dari hal yang spesifik Maluku yang disampaikan di atas, ada pula capaian lain yang umum bagi seluruh masyarakat Indonesia (Termasuk Maluku juga). Diantaranya, RUU TPKS telah memasukan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual.

Akhir tahun 2020 lalu, kami menangani satu kasus Kekerasan Seksual yang dialami seorang perempuan paruh baya di di Lease. Sayangnya kasus tersebut tidak bisa diproses oleh kepolisian, karena tidak ada pasal dalam KUHP yang bisa dipakai untuk menjerat pelaku.