Penuhi Hak Korban, JMS Desak Baleg DPR RI Tuntaskan RUU PKS
Padahal, kata dia, akibat yang ditimbulkan korban mengalami penderitaan seumur hidup. Semnetara pengalaman Lembaga Layanan dalam mendampingi korban menemukan 9 bentuk kekerasan seksual masih belum diadaptasi dalam bangunan hukum yang kita miliki saat ini dan belum mempertimbangkan hak-hak korban secara komprehensif.
“Kasus kekerasan seksual bukan hanya dialami perempuan dan anak, tapi juga disabilitas dan lansia. Minimnya infrastruktur dan akses masyarakat terhadap layanan pemulihan mengakibatkan hak korban terabaikan,” rincinya.
Hal sedana juga disampaikan Yustin Fendrita dari JMS yang mengatakan dalam RDPU itu, dua ahli hukum juga menyatakan Indonesia membutuhkan Undang-Undang Tindak Pidana Khusus Kekerasan Seksual.
Beberapa Negara di ASIA, kata dia, juga telah memiliki Undang-Undang Khusus tentang kekerasan seksual. Namun, tambahnya, di sisi lain pada saat RDPU, Baleg DPR RI secara resmi belum mengeluarkan draft naskah akademik maupun RUU PKS, meski sebagian anggota dan narasumber memperoleh draft awal sebagai rujukan pembahasan.
“Oleh karena itu diperlukan upaya mensegerakan penuntasan draft naskah akademik dan RUU PKS,” tandasnya.
Ia mengaku, kondisi inilah yang melatari JMS terus konsisten mengadvokasi RUU PKS. Pasalnya, perjuangan untuk menghadirkan RUU PKS adalah amanat Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu, tambahnya, terdapat juga konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang telah menjadi hukum Indonesia dengan UU 7/1984.
“Kami mendorong Panja RUU PKS di Baleg DPR RI melihat draft JMS yang memiliki 6 pokok pikiran itu,” beber dia.
Sementara itu, Lusi Peilouw dari JMS juga meminta agar dapat disempurnakan defenisi kekerasan seksual, yang melahirkan 9 bentuk kekerasan seksual. Ini perlu dialukan sebagai upaya menyempurnakan kelemahan-kelemahan terkait jenis kekerasan seksual yang ada dalam KUHP dan UU lainnya.
Kemudian, lanjutnya, pengaturan tentang penanganan kasus meliputi proses pengaduan dan pelaporan, penyidikan, penuntutan dan peradilan menjadi acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang menjadi tindak pidana khusus.