JMS juga berharap ada aturan pemidanaan dengan model double track system yakni hukuman pidana dan tindakan.

“Pemulihan korban, keluarga korban dan saksi kewajiban negara akan pencegahan melalui berbagai sektor antara lain infrastuktur, tata ruang dan edukasi publik juga perlu diperhatikan,” tandasnya.

Sebagai bentuk dukungan kepada DPR-RI, JMS juga menyampaikan lima poin penting sebagai berikut :

  1. Meminta dengan sangat kepada Pimpinan dan anggota BALEG DPR-RI untuk segera pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan mempertimbangkan draft usulan dari Jaringan Masyarakat Sipil dan KOMNAS Perempuan sebagai rujukan substansi.
  2. Mengusulkan kepada BALEG DPR-RI untuk membuka kesempatan RDPU kepada pendamping korban, aparat penegak hukum yang selama ini juga menghadapi secara langsung, guna mendapat masukan faktual terkait kompleksitas penanganan korban kekerasan seksual jika tidak memiliki landasan hukum yang kuat. 
  3. Meminta Baleg (DPR RI) untuk tetap menerapkan prinsip transparansi, akuntable dan partisipatif dalam setiap tahapan pembahasan RUU P-KS sebagaimana dijamin dalam UU NO 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundangan.
  4. Menghimbau kepada berbagai elemen masyarakat seperti jaringan akademisi, ahli hukum, pengacara dan pihak terlibat lain untuk terus memperkuat sinergitas dalam mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI juga melakukan dialog-dialog terbuka untuk mendukung perjuangan RUU P-KS menjadi kebijakan substantif.
  5. Meminta pemerintah, antara lain Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA), Kementrian Hukum dan HAM dan KSP untuk pro aktif bersama-sama Baleg merumuskan draft NA dan RUU sehingga memperpendek waktu proses harmonisasi (*)

Pewarta : Edha Sanaky