Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, JMS Desak RUU P-KS Jadi Prioritas
BERITABETA.COM, Ambon – Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk wilayah Indonesia Timur mendesak agar Rancangan Undang-Undang Penghapuasan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dapat ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional tahun 2021.
Desakan ini menyusul, makin meningkatnya angka kasus kekerasan seksual dalam dua tahun terakhir ini.
Berdasarkan data yang dihimpun JMS di wilayah Timur Indonesia, yang telah didokumentasikan Lembaga Pengada Layanan di wilayah timur Indonesia menyebutkan jumlah kasus kekerasan seksual pada tahun 2019 dan 2020 telah menemukan trend yang tinggi.
“Total kasus kekerasan seksual yang terdokumentasi sampai September 2020 adalah 481 kasus. Kasus tertinggi adalah Pemerkosaan (220 kasus), disusul perkawinan anak (145 kasus). Angka-angka ini hanyalah sebagian kasus yang sempat terpotret,” demikian pemaparan yang disampaikan Jaringan Masyarakat Sipil dalam webinar yang digelar, Senin (28/9/2020).
Webinar ini menghadirkan sejumlah aktivis di wilayah Indonesia Timur masing-masing, Lusi Peilouw dan Vivi Marantika Jaringan Maluku untuk RUU PKS, Nurhasanah dari Swara Parangpuang – Sulawesi Utara, Ansy Damaris dari LBH Apik NTT, Nona Duwila dari LBH Apik Papua.
Kemudian, Salma dari KPKPST (KPKPST), Yustina F dari Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara dan Ros dari LBH APIK Makassar, Perwakilan Tim Loby, Tim Substansi dan Tim Kampanye Jaringan dari Masyarakat Sipil Nasional untuk RUU PKS.
Dalam paparan disebutkan, kasus pemerkosaan anak yang tinggi itu terjadi di semua daerah. Salah satu kasus yang diungkap adalah, kasus yang terjadi di Sulawessy Tenggaran yang dilkakukan salah satu kepala daerah. Dalam kasus ini korban yang hamil kemudian dipaksa kawin dengan orang sekampung.
Sementara di Pulau Seram (Maluku) yang minim layanan, ayah tiri maupun orang sekampung yang menyebabkan kehamilan tidak diinginkan.
Dari Papua kasus yang paling menonjol adalah perbudakan seksual, salah satunya adalah incest yang dilakukan ayah kandung selama bertahun-tahun dan baru terungkap pada saat korban hamil dan tidak mampu melayani kebejatan pelaku.
“65% korban dari total kasus yang terdokumentasikan anak-anak yakni sebanyak 314, dimana 12 balita, 104 usia tanggung dan sisanya 198 adalah usia remaja. Semuanya berasal dari keluarga ekonomi lemah. Sebuah fakta yang memilukan,” tanda para aktivis dalam webinar itu.
Selain itu, disebutkan JMS Wilayah Timur juga menemukan sedikitnya 30% kasus yang dilaporkan mengalami kebuntuan dalam penanganan hukum. Ini dikarenakan tidak sigapnya polisi dalam mendapatkan pelaku.
Selain itu, juga ketidakmampuan keluarga untuk membiayai proses hukum oleh karena tempat tinggal yang jauh dari pusat layanan; baik untuk konteks daerah daratan seperti Papua dan Sulawesi dan di daerah pulau-pulau seperti Maluku dan NTT.