Dari peta situasi korban, JMS Wilayah Timur untuk KRUU P-KS menemukan bahwa di semua daerah di Wilayah Timur, kasus kekerasan seksual erat sekali hubungan sebab-akibatnya dengan beberapa hal berikut :

Pertama, disfungsi tiga entitas yang sangat dekat dengan kehidupan korban maupun pelaku yakni keluarga, agama dan adat yang seharusnya membangun mekanisme pencegahan bagi pelaku dan perlindungan bagi korban.

Justru, dalam beberapa kasus dimana korban hamil misalnya, keluarga malah memilih menikahkan korban dengan kerabat dengan alasan menutup aib. Malahan, tokoh adat setempat ikut memberatkan beban korban dengan stigma kehamilan korban adalah aib bagi kampung.  Korban didera trauma berkepanjangan.

Kedua, kelemahan pada sisi Aparat Penegak Hukum. Lembaga pengadalayanan di Sulawesi Tenggara dan NTT mengeluhkan kekakuan APH dalam penerapan pasal yang disangkakan pada pelaku, sehingga melemahkan aspek keadilan yang hakiki bagi korban.

Selain itu, di semua daerah ada pengalaman proses hukum yang tidak berpihak kepada korban. Apalagi sebagian besar korban tinggal di daerah yang hanya dekat dengan POLSEK yang kita tahu di situ tidak tersedia Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA).

“Ini semua menimbulkan keengganan untuk melapor dan kalaupun melapor, korban sering mengalami reviktimisasi. Di ranah Pengadilan, masih ada juga persidangan yang tidak peka pada aspek perlindungan dan perhargaan harkat dan martabat korban,” tandas Lusi Peilouw.

Ketiga, pada sisi Pemerintah Daerah. Sebagaimana ditemukan di semua daerah, kebijakan, program dan penganggaran pemerintah belum menyasar kebutuhan membangun pranata maupun infrastruktur pencegahan kasus, juga perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi korban dan keluarga korban.

Apalagi Pemerintah Daerah belum mampu memainkan peran koordinasi pengadalayanan lintas Lembaga bahkan institusi pemerintah di daerah masing-masing. Tidak heran, edukasi publik yang penting bagi pencegahan maupun perlindungan tidak jalan; dan keberadaan Rumah Aman yang sangat terbatas maupun tenaga pendamping dan psikolog tidak sebanding kebutuhan penanganan kasus.

Akar paling mendasar dari semua realita miris di wilayah timur ini adalah lemahnya landasan hukum bagi perlindungan korban. Maluku, NTT, Papua dan Sulawesi membutuhkan peraturan perundang-undangan yang seacara spesifik dan komprehensif mengatur pemenuhan hak korban.

Menyikapi kondisi ini JMS Wilayah Timur meminta Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan bebarapa hal di bawah ini sebagai sebuah solusi:

1. Memasukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2020/2021

2. Memastikan bahwa Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual nanti adalah:

– Undang-undang yang melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan sehingga mendapatkan proses peradilan yang berkeadilan

– Undang-undang yang mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku;

– Undang-undang yang memberikan kepastian hukum terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan   aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.

– Undang-undang yang mencakup juga pemidanaan khusus bagi pelaku korporasi, pelaku yang menghambat, bertindak lalai menjalankan kewajiban, serta sanksi administratifnya

– Undang-undang yang memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual

– Undang-undang yang menegaskan pengaturan layanan pemerintah maupun layanan negara yang sinergetik dengan masyarakat dan LSM sebagai upaya pemulihan korban (BB-DIO)