Oleh: Iftin Yuninda Hart (Koordinator Gerakan Pejuang Perempuan Milenial - Kawan Komisi Yudisial Maluku)

Kasus perkosaan dan perdagangan seks yang dilakukan kepada anak masih kerap terjadi. Baru-baru ini kasus itu menimpa seorang anak dengan pelaku anak dari Anggota DPRD Bekasi. Korban-nya  adalah anak di bawah umur.

Ironisnya, penyelesaian kasus yang ditawarkan oleh penegak hukum justru menimbulkan keresahan karena meminta pelaku untuk menikahi korban.

Padahal, menikahkan korban dengan pelaku bukanlah solusi yang tepat. Hal ini seringkali dilakukan karena masih adanya pandangan masyarakat yang belum dapat membedakan tindakan kekerasan seksual dan aktivitas seksual.

Pandangan ini pula yang menyebabkan tindakan perkosaan dianggap sebagai perzinahan yang bisa diakhiri dengan perkawinan. Alasan lainnya yang melatarbelakangi penyebab perkawinan pelaku dengan  korban adalah stigmatisasi terhadap korban kekerasan seksual.

Anggapan bahwa korban yang diperkosa sudah tidak suci, aib, dan menimbulkan rasa malu terhadap korban dan keluarga, mengakibatkan kasus perkosaan diselesaikan secara kekeluargaan, tidak di ranah pidana.

Ada pun beberapa Aparat Penegak Hukum yang beranggapan bahwa menikahkan korban dengan pelaku merupakan tindakan restorative justice. Menurut Institute of Criminal Justice Reform, penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice adalah penyelesaian yang berbasis pemulihan bagi korban, pelaku dan masyarakat.

Dalam konteks lahirnya pendekatan ini, fokus utama yang diperhatikan adalah pemulihan dan kepentingan terbaik bagi korban dan pelaku menyadari kesalahannya serta mendukung pemulihan korban.

Dalam kasus ini, pendekatan tersebut tidak layak diberlakukan demi tujuan hukum untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, terkhusus bagi korban yang rentan dan dirugikan.

Hal ini juga menggambarkan kurangnya sistem hukum yang berkualitas bagi korban kekerasan seksual di Indonesia. Terdapat beberapa alasan yang harus dilihat antaranya :

Pertama, dalam kasus ini, korban merupakan anak di bawah umur, masih sangat muda baik secara fisik maupun psikis, sehingga rentan mengalami masalah kesehatan. Anak seharusnya dilindungi dalam tumbuh kembangnya, bukan dijadikan istri atau ibu untuk mengurusi keluarganya.

Sebagaimana ide dasar perlunya perlindungan hukum terhadap anak, yaitu:

“Anak masih memerlukan bimbingan orang tua, anak memiliki fisik yang lemah, anak memiliki kondisi yang masih labil, anak belum bisa memilih mana yang baik dan yang buruk, anak memiliki usia yang belum dewasa, anak perempuan lebih sering menjadi korban, anak memerlukan pendidikan dan sekolah, anak memiliki pergaulan, anak masih mampu dipengaruhi media massa.”

Ketika anak dipaksa harus menikah, maka, proses perkembangan, kebebasan, dan kemerdekaan dirinya akan terbatas.