Pewajaran Tindakan Kekerasan Seksual
Kedua, menikahkan korban dengan pelaku merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, yakni pemaksaan perkawinan. Pemaksaan perkawinan dilarang dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konstitusi, UU HAM, dan UU Perkawinan.
Ketiga, rasa trauma korban akan semakin meningkat. Trauma atas kekerasan yang telah dialami sebelumnya akan semakin memuncak ketika harus hidup bersama dengan orang yang telah melukainya.
Keempat, kasus ini tidak hanya melanggar Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU no. 23 thn 2002 tentang Perlindungan Anak, namun juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, karena pelaku juga menjalankan prostitusi online kepada korban.
Apakah pantas, pelaku menjadi suami korban? Belum sah sebagai miliknya saja sudah melakukan tindak kekerasan berlapis bagi korban, apalagi sudah terikat dalam perkawinan.
Kelima, rentan bercerai. Seringkali, menikahi korban adalah cara pelaku mengamankan dirinya dari sanksi, dengan begitu, perceraian sangat mudah dilakukan ketika pelaku sudah menikah dan bebas dari sanksi yang seharusnya didapatkannya.
Keenam, menguatkan stigma objektivikasi terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Perempuan yang diperkosa dianggap telah hilang kehormatannya sehingga langkah untuk memulihkan harus dengan menikah. Seharusnya yang hilang kehormatan adalah pelaku yang dengan kejahatannya telah menyiksa korban, bukan korban yang tak berdaya.
Budaya Perkosaan
Realita masyarakat kita, budaya perkosaan atau rape culture masih menjadi hal biasa dan diwajarkan.
Dilansir dari Oxford Dictionaries, rape culture adalah istilah untuk menggambarkan suatu masyarakat ataupun lingkungan yang terkesan menyepelekan pelecehan seksual. Bahkan masyarakat memiliki tendensi untuk menyalahkan korban atau victim blamming.
Victim blamming adalah perilaku yang sangat berdampak buruk bagi korban, pasalnya, korban yang seharusnya dilindungi dan didukung malah dianggap sebagai penyebab masalah yang terjadi. Tentu hal tersebut memberi beban ganda bagi korban, sudah dirugikan dengan tindakan kekerasan, disalahkan pula.
Kasus kekerasan terhadap perempuan, terlebih khusus kekerasan seksual terus mengalami peningkatan, tak terkecuali di masa pandemi ini.