Demokrasi Prosedural dan Pemilu, Refleksi Teoritis
Menurut Sigit Pamungkas, ada beberapa hal mendasar yang menjadikan pemilihan pada masa orde baru tidak berjalan secara demokratis; Terlalu dominannya peran pemerintah dan sebaliknya amat minimnya keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu.
Dominasi pemerintah terlalu besar terlihat pada postur kelembagaan penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga struktur kepaniteraan terendah di dominasi pemerintah, kalaupun unsur di luar pemerintah lebih kepada aksesoris belaka.
Proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta pemilu, yaitu partai Golkar, birokrasi dengan “monoloyalitasnya” dan militer mendukung Golkar untuk mencapai kemenangan.
Monopoli pemerintah dalam salah satu proses pemilu yang terpenting, yakni penghitungan suara. Pada tahap ini, hampir tidak ada peluang bagi organisasi Partai Politik di luar Golkar mengikuti dan terlibat secara penuh dalam penghitungan suara, kecuali di tingkat pemungutan suara.
Tepat pada 21 Mei 1998, terjadi sebuah momentum sejarah penting yang merupakan awal dari lahirnya kembali bangsa Indonesia. Pengunduran diri presiden Soeharto dari jabatan presiden menjadi bukti akan besarnya kekuatan rakyat yang menunjukan kedaulatannya di republik ini, yang kemudian digantikan oleh BJ. Habibie.
Desakan rakyat yang menginginkan adanya perubahan di Indonesia, tidak cukup hanya meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden, namun rakyat menginnginkan adanya perubahan secara mendasar.
Amandemen konstitusi dasar nampaknya mengantarkan pada reformasi ketatanegaraan, yang juga berimplikasi pada sistem kepemiluan, seperti munculnya lembaga Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili sengketa kepemiluan.
Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran sebagai penjaga konstitusi dan pelindung demokrasi melalui amar putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011 membatalkan pasal-pasal tersebut, bahwa di dalam pertimbangannya pada poin (3. 13) mahkamah berpendapat:
“Menimbang bahwa pemilihan umum sebagai satu mekanisme pokok prosedur demokrasi mendapatkan jaminan konstitusional dalam UUD 1945".
Keberlanjutan demokrasi melalui pemilihan umum dilakukan secara berkala lima tahun sekali dan harus memenuhi asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (vide Pasal 22E ayat 1 UUD 1945).
Dari sisi prosedural pemilihan umum harus dilakukan lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia sedangkan dari sisi subtansial pemilihan umum harus dilakasanakan secara jujur, dan adil.
Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud, antara lain. Penyelenggara pemilihan umum tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak manapun.
Penyelenggara pemilihan umum tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau partai politik sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.
Pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (vide Pasal 22E ayat 5 UUD 1945) dengan satu penyelenggara pemilu yang selanjutnya dinamakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kesatuan organisasi di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Bahwa pentingnya untuk menjaga independensi lembaga penyelenggara pemilihan umum untuk dapat mewujudkan pemilihan umum yang demokratis yang memenuhi rasa kejujuran dan keadilan sangatlah penting dilakukan.
Karena tanpa adanya lembaga penyelenggara pemilihan umum yang independen, pemilihan umum yang demokratis tersebut niscaya dapat terwujud. Pemilihan umum yang demokratis tentunya akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis pula.
Dalam pemerintahan yang demokratis, kebijakan-kebijakan yang dipilih-pun juga bernuansa demokratis, maka dari itu, berdasarkan uraian diatas, mengingat lembaga penyelenggara pemilihan umum merupakan salah satu pilar demokrasi yang perlu dijaga independensinya agar pemilihan umum yang demokratis dapat terwujud (**)