Demokrasi Prosedural dan Pemilu, Refleksi Teoritis
Melalui UU No. 3 Tahun 1975 tentang partai politik dan golkar digelar fusi (penggabungan) partai-partai politik, yang menerbitkan Golkar sebagai pemenang manakala pemilu berlangsung.
Pemilu bagi meritokrasi dinasti politik itu akan berakibat ancaman bagi status quo kekuasaan yang telah melekat pada kodratnya sebagai keluarga terpandang. Namun Indonesia, di masa orde baru merupakan fenomena yang unik dalam rumusannya sendiri, ia tiran tetapi masih menggunakan pemilu sebagai sebuah mekanisme sirkulasi elitnya.
Sejarawan Indonesia merilis tentang kejadian itu dengan penuh kekagetan, hingga pada tahun 1997 Golkar memperoleh suara mayoritas sebesar 74,3% yang sebelumnya berada dalam skala yang terus meningkat.
Demokrasi ala Orde Baru ini, kekuasaan absolut sang pemegang status quo yang rentan selalu merampas hak-hak politik dan konstitusional warganya. Pemilu Orde baru juga seringkali disebut-sebut sebagai sisi gelap demokrasi Indonesia, karena tak hanya pemilu yang dikebirikan, melainkan juga kebebasan berorganisasi, kebebasan pers, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan seterusnya berlangsung dalam hipnotis pembangunan ekonomi yang artifisial.
Pemilu setelah 1971, merupakan tahapan masa kelam demokrasi ternyata juga hasil dari bertumpunya kekuasaan pada tirani Soeharto, begitupula dengan Soekarno yang pada tahun 1959 telah mengeluarkan kebijakan yang sama.
Soekarno mengijinkan berlangsungnya pemilu 1955 yang konon merupakan pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia dengan tingkat partisipasi warganya lebih dari 90% baik dalam rangka memilih anggota DPR maupun anggota dewan konstituante.
Namun karena kinerja dewan konstituante deadlock tanpa membuahkan kesepakatan, sementara konstitusi sudah mendesak dibutuhkan, selama proses negosiasi masih berlangsung Soekarno menerbitkan dekrit presiden 1959 yang menyatakan pembubaran dewan konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 sesuai dengan keinginan Soekarno.
Tak hanya sekedar membubarkan dewan konstituante, pada tahun berikutnya lantaran DPR tidak meloloskan RAPBN yang diajukan pemerintah, Soekarno kembali menerbitkan dekrit 4 juni 1960 yang berisikan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian secara sepihak membentuk DPR Gotong Royong (GR) dan MPR sementara yang semua anggotanya diangkat oleh presiden.
Masa-masa gelap sebuah peradaban seringkali terjadi di setiap bangsa, tidak hanya Indonesia, ternyata negara klasik dalam bentuk polis state Athena zaman dulu yang acapkali dijadikan rujukan demokrasi subtansial tidak melulu menceritakan kisah-kisah membahagiakan tentang demokrasi.
Sebuah era kegelapan juga berlangsung di Yunani kuno waktu itu yang menenggelamkan simpul-simpul demokrasi. Mula-mula Athena memiliki spirit apa yang sering disebut “Sunoikismos” yang bisa diartikan sebagai hidup bersama (Living Together).
Pada titik ini, kehidupan sosial masyarakat tak kurang dari 50.000 orang yang memungkinkan saling berinteraksi satu sama lain bisa mengenal, dan semangat persatuannya pun terbilang tinggi.
Hingga akhirnya populasi meningkat dan dampak Peloponnesian, reformasi solon berkumandang. Pada masa Solon, pembaharuan di bidang ekonomi digalakkan dengan menitikberatkan pada penghapusan hutang, memberdayakan tanah untuk pertanian, ketrampilan pengrajin ditingkatkan, dan demokrasi berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.