Demokrasi Prosedural dan Pemilu, Refleksi Teoritis
Lalu apakah sekiranya layak kita jadikan sebagai kontrak 2004 ini? Apakah diamati, maka semakin hari semakin energi bangsa ini terkuras dan tercabik-cabik untuk membuat perhitungan dengan masa lalu. Kerusuhan dimana-mana, pengangguran, rakyat terlantar.
Untuk menghentikan itu semua mutlak dibutuhkan suatu perdamaian antara kita semua orang Indonesia, antara kita semua orang Indonesia, suatu rekonsiliasi, motto rekonsiliasi tersebut adalah “Bersatu untuk membangun kesjahteraan rakyat” jadi rekonsiliasi bukan rekonsiliasi belaka.
Kontrak sosial baru ini merupakan batu pijakan bagi pemerintahan baru melangkah. Janji yang ditawarkan oleh pemimpin yang sudah terseleksi melalui proses yang cukup berat, sehingga kemungkinan besar saringan demokrasi ini bisa melahirkan pemimpin yang bisa mengelola organisasi besar negara dan piawai berkounikasi dengan rakyatnya.
Sebagaimana yang dipercaya oleh Peter Emerson, bahwa dalam mendefiniskan demokrasi itu, kontrak sosial merupakan sarana fundamental dalam membangun pola pengambilan keputusan yang mumpuni dan seni pemeritahan yang baik.
Kita menelisik, pada 1784 Prancis sudah mulai mengawali sistem pemilihan umum yang diyakini oleh kelompok Academie de Sciences mampu menggambarkan segmentasi pemilih plutral, namun tetap berkontribusi dengan cara kerjanya yang mengindetifikasi kehendak umum.
Kehendak umum kontrak sosial, dan nilai-nilai demokrasi dalam bayangannya bisa dirumuskan melalui sebuah mekanisme sistemik pemilu.
Merekonstruksi pemilu yang ideal tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah. Warna-warni dalam pemilu misalnya di Indonesia juga cukup menggambarkan fenomena yang memprihatinkan ketimbang membanggakan. Kasus-kasus seperti korupsi, money politik, penggelembungan suara dan seterusnya acapkali mewarnai pentas demokrasi yang sakral dan agung itu.
Struktur penyelenggara pemilu yang seharusnya menjaga integritas dan independensinya, ternyata pada prakteknya kita bisa menemukan beberapa oknum yang terbukti menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan tertentu.
Terhitung per Desember akhir 2020 lalu DKPP menerima 415 pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP), 101 perkara diantaranya sudah dibacakan putusannya, 101 perkara yang diputus ini melibatkan 409 penyelenggara yang duduk di bangku teradu dalam sidang DKPP.
Dari seluruh teradu yang telah dibacakan amar putusannya, 200 teradu (42,8%) mendapatkan rehabilitasi karena tidak terbukti melanggar KEPP, sedangkan 209 teradu lainnya mendapat sanksi karena terbukti melanggar KEPP.
Bukti faktual yang dihembuskan melalui media ini merupakan catatan bahwa subtansi, struktur dan budaya hukum hendaknya berjalan seiringan. Jika struktur aparat penegak hukumnya tidak bekerja dengan benar maka hasil capaiannya pun akan cukup memprihatinkan.
Mengembalikan Daulat Rakyat
Pemilu Indonesia tidak hanya kurang dari sempurna, namun juga pernah memenuhi kebuntuan saat dihadpkan oleh kekusaan tirani yang bercokol dalam narasi historis Indonesia, taruhlah saat kita mengindetifikasi pemilu 1977-1997 yang disebut sebagai pemilu orde baru, dapat dilihat sebagai proses Demokrasi yang hanya sekedar “lipstik” pewarna dalam melengkapi kekuasaan otoriter Soeharto kala itu.