Oleh : Faisal Amin Mamulaty  (Komisioner KPU Kabupaten Buru)

PEMILU yang di selenggarakan setiap lima tahun sekali sekaligus menjadi kompetesi politik dimana rakyat bebas menentukan pilihannya guna mewakili suaranya kelak baik untuk kekuasaan eksekutif maupun legislatif.

Setidaknya harapan rakyat setelah terpilih wakilnya agar mereka lebih mementingkan dan mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dan kelompoknya.  Hakekat dari demokrasi bukan hanya suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara, akan tetapi lebih dari itu yakni suatu proses untuk mencapai tujuan kesejahteraan bagi rakyatnya. Inilah perbedaan mendasar dari demokrasi yang ada di Indonesia dengan demokrasi yang berada di negara lainnya.

Dalam praktek demokrasi di indonesia tidak terlepas dari membicarakan bagaimana cara bernegara, bermasyarakat, dan menjalankan pemerintah. Didalam bernegara membahas tentang bagaimana hubungan antara rakyat dengan pemerintahan.

Rakyat mempunyai suatu hak kebebasan dalam bernegara akan tetapi didalam negara ada suatu konstitusi atau hukum yang mengatur hak dan kebebasan seseorang dalam bernegara agar tidak menggangu kebebasan orang lain.

Cerminan demokrasi di indonesia sebagaimana yang dilaksankan lima tahunan dalam bentuk pemilu, merupakan hak asasi  setiap warga negara untuk bebas menentukan pilihan kepada siapa yang diinginkan untuk di pilih.

Praktek Politik Dinasti

Politik dinasti dapat diartikan sebagi pisau bermata dua. Artinya, di satu sisi, praktik politik dinasti merampas hak orang lain karena berpotensi menggunakan cara-cara yang tidak benar yang melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Pada sisi lain, pelarangan terhadap seseorang yang mempunyai hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah bagian dari dinasti politik itu sendiri dan juga melanggar hak politik seseorang sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.

Maka, dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan dengan konstitusi sehingga politik dinasti dihalalkan melalui putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Tak jauh-jauh yang bisa kita pelajari dari suksesi kepemimpinan dalam sebuah pemilihan kepala desa yang lumrah diwarnai dengan politik dinasti. Walau tetap dengan pemilihan langsung, calon yang ikut kompetisi berasal dari dinastinya, seperti istri, anak atau kerabatnya.

Pada konteks pro dan kontra politik dinasti, pemaknaan demokrasi menimbulkan dua pemahaman yang saling bertentangan, yaitu politik dinasti dinilai tidak bertentangan dengan demokrasi, tetapi di sisi lain hal itu kerap melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi.

Muncul pertanyaannya, apakah politik dinasti mengebiri demokrasi ? Menggerus demokrasi? Seperti ungkapan di atas, politik dinasti sudah menggejala sejak lama. Hal ini akan semakin jelas pada era kerajaan yang memang kekuasaan turun temurun.

Fenomena pemilihan kepala desa secara langsung, politik dinasti juga menjadi hal yang lumrah. Walau dipilih secara langsung, peranan ke-dinasti-an tetap berjalan, walaupun dengan proses demokrasi.

Memasuki era reformasi sedikit merubah memperoleh kekuasaan dengan demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung. Namun tidak menghilangkan praktik politik dinasti itu sendiri.

Menjawab pertanyaan apakah politik dinasti mengebiri demokrasi ? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ya mengebiri demokrasi karena praktik-praktik politik dinasti cenderung memengaruhi proses yang mestinya demokratis.

Menjadi tidak demokratis karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, kekuatan, pengaruh, finansial dan infrastruktur politik yang kuat. Artinya, “bungkusnya demokrasi tetapi isinya tidak demokratis”.

Pada zaman kerajaan, menentukan pemimpin berdasarkan pewarisan serta ditunjuk secara langsung. Dewasa ini mencari kepala daerah lewat jalur politik prosedural. Dimana keluarga para elite kekuasaan lewat institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Arinya, “Patrimonialistik dibungkus dengan Prosedural”.

Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang berproses di Indonesia dan akan melemahkan demokrasi itu sendiri. Kenapa ? Karena politik dinasti, cenderung mengabaikan kompetensi, rekam jejak, kaderisasi dan kepantasan.

Benar, Salah Politik Dinasti

Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah kehidupan warganya.

Demokrasi memungkinkan warga negara berpartisipasi, bisa langsung atau lewat perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Kesetaraan dalam demokrasi mencakup kondisi politik, ekonomi sosial, dan budaya.

Namun pada sisi yang lain, politik dinasti bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di negara yang demokratis. Politik dinasti lebih tepat di negara dengan sistem pemerintahan monarki, dimana untuk memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan dan syarat akan praktik nepotisme kebijakan.

Politik dinasti dianggap salah, karena berpotensi kuat menyuburkan budaya nepotisme. Betapa tidak, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh hanya sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Dengan demikian secara politik, ada kecenderungan mempertahankan kekuasaan dengan cara menyuburkan politik dinasti dengan tujuan agar kekuasaannya terpilihara dan kebobrokannya terus terjaga. Artinya, “menjaga agar kekuasaan tidak direbut oleh lawan politiknya atau kelompok yang berseberangan”.

Sisi lain, dengan terbukanya politik dinasti, maka peluang orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan semakin subur dan terbuka. Sebaliknya, ada orang yang lebih kompeten, lebih memiliki kapasitas bisa tergusur dan tidak dipakai karena alasan subjektif.

Secara Yuridis Formal tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk menggunakan hak politiknya dikaitkan dengan keluarga atau dinasti. Secara Filosofi, harapannya kehidupan demokrasi ke depan mestinya akan jauh lebih baik dan terasa  lebih adil. Secara Sosiologis, masih ada masyarakat yang belum menerima praktek politik dinasti itu sendiri (***)