BERITABETA.COM, Ambon – Keberadaan dinasti politik di Indonesia bukan hal yang tabu untuk diperbincangkan. System atau tradisi pemerintahan era kerajaan ini ternyata masih dibawa segelintir orang demi memelihara kekuasaan mereka. Ihwal ini sangat mencederai demokrasi di Indonesia.

Fatalnya lagi, dinasti politik juga dinilai menjadi pemicu atau pemantik atau memungkinkan oknum melakukan korupsi.

Faktanya, KPK mencatat hingga kini sudah ada 22 Gubernur dan ratusan bupati-walikota di Indonesia yang terjerat kasus korupsi. Hal ini dinilai oleh publik sebagai bagian dari hegemoni dinasti politik.

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau FISIP Universitas Pattimura (Unpatti) Mohtar Nepa nepa mengatakan, dinasti politik dapat memungkinkan oknum berperilaku korupsi.

“Menurut saya, memang sangat mungkin dinasti politik itu menjadi pintu masuk korupsi,”ujarnya saat diwawancarai oleh beritabeta.com di Ambon, Sabtu  (23/10/2021), seputar hegemoni dinasti politik kepala daerah yang tersangkut korupsi.

Dia menjelaskan, fenomena penangkapan Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin, oleh KPK justru, memperpanjang daftar kasus korupsi yang berasal dari dinasti politik.

Dodi, lanjutnya, merupakan putra sulung dari Alex Noerdin, notabenenya adalah mantan Gubernur Sumatera Selatan.

“Ini bahkan menurut saya dalam diandaikan seperti sudah menjadi bagian dari para perternak politik. Dimana dalam ternak politik akan digarap secara turun temurun, dan itu sangat membahayakan demokrasi,”tandasnya.

Menurutnya, dinasti politik dalam tata kelola pemerintahan seperti mengelola kerajaan. Misalnya, kasus mantan Bupati Bangkalan pada 2003-2012 yang melibatkan istri, anak, dan sopirnya terjerat kasus pencucian uang saat menjabat.

Lalu ada juga Puput Tantriana Sari, Bupati Probolinggo 2013-2021, atas dugaan perkara jual beli jabatan kepala desa yang ditangkap bersama suaminya.

Dia menyebut sederet nama tersebut hanya sebagian kecil saja dari fenomena korupsi yang dilakukan oleh dinasti politik.

Bagi dia, jika saja dinasti politik bekerja dalam tata kelola pemerintahan yang baik, tentu tidak banyak memperdebatkan keberadaan [dinasti politik].

Yang sangat parah lagi, lanjutnya, ketika dinasti poltiik itu adalah keluarga. Meski begitu, dia enggan menyalahkan hal tersebut karena dinasti politik.

“Yang menjadi premis dasar adalah mengapa masyarakat pemilih justru masih memilih jaringan kekeluargaan {dinasti politik],”sentilnya

Padahal, fakta menunjukkan sebagian besar dinasti politik itu berada dalam pusaran kasus korupsi.

Dia menilai, budaya politik yang terlanjur dimanjakan dengan politik uang [money politic], hasilnya akan mengerucut pada pembalasan politik melalui korupsi untuk mengembalikan anggaran [money politic], yang dihabiskan saat pilkada.

Menurutnya, fenomena dinasti politik di negeri ini sangat susah diberantas kalau kemudian faktanya masyarakat masih dimanja dengan politik uang pada saat pilkada.

“Biaya pilkada yang sangat besar justru akan membuka pintu masuk untuk oknum melakukan korupsi termasuk keberlangsungan dinasti politiik,”tegasnya. (BB-RED)