Oleh : Soleman Pelu (Aktivis Sosial)

Menurut KBBI apatis memiliki arti acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh. jadi apatis dapat diartikan sebagai suatu sikap tidak peduli dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya maupun dalam lingkup yang lebih luas. Karena itu, seseorang yang memiliki sikap  apatis lebih cenderung asyik atau menikmati dunianya sendiri. Sehingga ia tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya.

Sikap apatis juga kite jumpai dalam wilayah politik. Apatis memang bukan hal baru di dunia perpolitikan  khususnya Indonesia. Apatisme politik sudah ada sejak dulu, namun baru mulai dibahas ketika masa reformasi  dimulai. Hingga kini apatisme politik tetap menjadi suatu hal yang masih layak untuk dibahas. Apalagi saat ini era serba digital, di mana setiap orang bebas mengakses informasi dan bebas menyuarakan pendapat  di media sosial.

Yang dikhawatirkan adalah saat ini apabila sikap Apatis terjadi di kalangan anak muda. Padahal Anak muda sebagai cikal bakal penerus bangsa. Anak muda sangat dibutuhkan bagi kemakmuran bangsa, para kaum muda ini diharapkan mempunyai ide-ide yang kreatif untuk bisa merubah bangsa ini menjadi  lebih baik.

Namun bagaimana jika generasi milenial ini malah menjadi apatis terhadap politik. Contohnya saja masih  banyak generasi muda yang acuh tak acuh dalam politk dengan memutuskan untuk golput, hal ini berarti  mereka enggan untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik di Indonesia, padahal satu suara saja dapat  menentukan nasib bangsa kedepannya. Hal itu terjadi karena kaum muda masih menilai politik itu rebutan kekuasaan,  urusan orang tua, korupsi, janji-janji politik. Sehingga ia enggan masuk ke dunia politik dan  menjadi apatis dalam politik. Dan apalagi akan memasuki tahun tahun politik.

Dibalik itu semua, terdapat upaya yang bisa dilakukan dari segi Pemerintah salah satunya menyediakan  akses atau fasilitas-fasilitas yang memadai kepada pemuda-pemuda untuk mendukung kegiatan politik, diantaranya memberikan pendidikan atau sosialisasi politik. Lalu generasi muda dibina untuk memiliki.

Menjelang tahun politik 2024, alih-alih mengembangkan partisipasi politik kritis yang radikal, disinyalir sebagian besar anak muda justru lebih banyak terlibat dalam aktivitas dan memerankan diri sebagai konsumen aktif berbagai produk industri budaya. Memang, internet dan bentuk media baru, termasuk Web 2.0, memiliki karakter bebas kontrol, nondiskriminatif, dan mengatasi kendala ruang. Namun, justru karena karakter itulah anak muda terbawa hasrat kesenangan semata.

Di kalangan anak muda digital natives, aktivitas yang penuh dengan Playful surfing pada gilirannya justru memicu rasa ingin tahu yang malas (Supeli dalam Hardiman, 2010: 343), bahkan bukan tak mungkin melahirkan sikap yang apatis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan demokrasi. Menurut data pemilu menjelaskan keterlibatan orang muda dalam pemilu sebanyak 55%. Keterlibatan anak muda dalam berpartisipasi politik secara umum belum banyak berkembang. Kebanyakan anak muda cenderung apatis atau acuh tak acuh terhadap berita atau informasi politik.

Kesenjangan digital

Apa penyebab partisipasi politik anak muda cenderung rendah? Kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda ditengarai salah satu hal yang dipengaruhi dan memengaruhi partisipasi politik daring kelompok digital natives.

John Shirley (1992) menyatakan, anak muda yang bersikap apatis cenderung jadi  orang yang tak tertarik ide-ide demokrasi atau masyarakat madani, yang mengandung pemahaman tentang aturan main serta konsensus yang memegang peranan.

Kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda ditengarai salah satu hal yang dipengaruhi dan memengaruhi partisipasi politik daring kelompok digital natives.

Kesenjangan demokrasi

Menurut Noris (2001), salah satu isu yang perlu dicermati akibat dari kesenjangan digital adalah persoalan kesenjangan demokrasi, yaitu berkaitan dengan penggunaan internet untuk tujuan partisipasi politik.

Selama terdapat persoalan kesenjangan demokrasi, maka masih akan terjadi masalah karena kelompok-kelompok sosial yang termarjinalkan secara politis masih menonjol, dan mereka cenderung menarik diri dari aktivitas politik.

Jika internet sebagai teknologi digital diyakini menjadi media yang mempromosikan demokrasi, tentunya kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai bagian dari masyarakat madani dapat menggunakan potensi demokratis ini sebagai sarana untuk menyalurkan apa yang menjadi aspirasi sosial-politik mereka. Namun, lain soal jika kehadiran internet tak lagi steril dari kepentingan politik.

Orang Muda Ambil peran 

Peran orang muda dalam gelaran pemilu dapat diaktualisasikan setidaknya ke dalam tiga posisi. Pertama, dengan melibatkan diri sebagai penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat desa. Manfaat yang dapat diperoleh dari peran sebagai penyelenggara pemilu adalah pengetahuan empiris dan teknis seputar penyelenggaraan pemilu.  Para pemuda akan mengetahui bagaimana kesulitan-kesulitan yang dihadapi di lapangan sebagai penyelenggara pemilu.