Politik Islam dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
UNTUK memulai tulisan ini, saya sedikit menyinggung tentang pemahaman politik dalam Islam. Saya terlebih dahulu meminjam bahasanya Yusuf Qardhawi yang ditulis dalam kamus Al-Kamil, bahwa Politik adalah semua yang berhubungan dengan Pemerintahan dan Pengelolaan masyarakat madani. Pada prinsipnya yang kita ketahui, bahwasanya, istilah politik tidak pernah ada dalam Islam. Akan tetapi, esensi politik ada dalam islam yaitu memimpin dan dipimpin.
Pemaknaan politik dalam islam, politik itu sendiri berasal dari kata “Yasusu” yang menjadi akar kata as-siyasah dalam hadist sahih dari imam bukhari dari Abu Huraira r.a. “(zaman dahulu bani israil itu dipimpin oleh para Nabi)’’.
Hadist ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasa dalam islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar dan membela yang teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari.
Inilah pemahaman nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan naunggan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam.
Pendasaran pemaknaan politik islam diatas, ketika kita sandingkan dengan politik islam indonesia dalam konteks mewujudkan demokrasi yang berperadaban untuk membangun indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Hal ini merupakan sebuah keharusan yang harus kita terima dalam berdemokrasi yang berasas pada ideologi pancasila. Oleh sebab itu, ketika Kita kembali melihat perjalanan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia pada masa orde lama, orde baru dan reformasi.
Umat islam indonesia sangat memainkan peranan politiknya sebagai prinsip dasar dalam konteks berbangsa dan bernegara untuk membangun cita-cita bangsa. Dalam memainkan peranan politik islam indonesia sering diwakili oleh islam modernis vs islam tradisionalis yang biasanya diwakili oleh Muhammadiyah dan NU.
Meski dua ormas Muslim terbesar ini (NU dan Muhammadiyah) tidak sejalan dalam setiap perdebatan pemikiran. Namun, hal ini tidak mengurangi subtansi dalam konteks berdemokrasi yang berasa pada ideologi pancasila.
Menurut kaum progresif tentang Islam Politik di Indonesia yang menjadi perbedaan antara agenda Islamis tradisonalis dan Islamis Modernis adalah ‘’Islam politik di Indonesia dewasa ini tidak lagi diartikulasikan dalam konteks subjektivisme ideologis dan simbolis, (yakni negara Islam dan negara ideologi Islam)’’.
Sebaliknya, gagasan-gagasan itu kemudian diterjemahkan dan diuraikan ke dalam beberapa agenda yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang meleputi sejumlah Isu yang lebih luas seperti demokratisasi, toleransi agama dan politik, egalitarianisme sosial-ekonomi, dan emansipasi politik.
Pada masa orde lama, peran politik umat islam indonesia didasarkan atas tiga aspirasi besar:
Pertama, peran umat islam yang bersikap kritis kepada negara yang diwakili oleh masyumi. Kedua, peran umat islam yang bersikap akomodatif kepada negara yang diwakili oleh NU. Ketiga, peran umat islam yang bersebelahan pemikiran yang diwakili oleh gerakan DI/TII. Sementara pada masa orde baru, yang telah kita ketahui hubungan umat islam dengan pemerintahan orde baru sangat diwarnai pasang surut.
Responsifitas panggung politik orde baru terhadap umat islam secara umum yang berdampak pada gerakan dakwah islam secara khusus mengalami tiga masa peralihan. Menarik untuk direspon pendapat yang kemudian dikatakan oleh M. Natsir bahwa, ‘’dulu islam dan pancasila ibarat dua sejoli (kerabat kerja) yang bersama-sama tampil kedepan dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu zaman beredar, musim berganti. Sekarang (1980-an) kelihatan duduk berdampingan saja tidak diperbolehkan lagi’’.
Selanjutnya beliau mengatakan, adapun perspektif di zaman seterusnya banyak sekali tergantung kepada umat islam sendiri. Kepada kemampuannya memulihkan rasa harga diri dan kualiatas kegiatannya menghadapi ujian masa. Tidak ada yang tetap dalam hidup duniawi itu. Yang tetap hanya terus beredarnya perubahan.
Sedangkan pada era reformasi, politik islam mengalami titik terang karena partai politik islam berada pada peringkat 10 besar yang termasuk didalamnya PBB, PPP, PKS, PAN dan PBB. Secara umum, partai-partai islam pasca reformasi memiliki dua aliran berbeda yang saling bertentangan. Aliran yang pertama menganut bahwa syari’ah islam harus diterapkan dalam sistem pemerintahan. Partai-partai besar yang menganut aliran ini adalah PBB, PKS dan PPP.
Sedangkan aliran kedua menolak hal tersebut, aliran ini dianut oleh dua partai islam yang cukup besar yaitu PAN dan PKB. Menurut Andreas Ufen bahwa politik aliran telah menghilang setelah reformasi. Hal ini telah ditandai dengan tergerusnya struktur ideologi partai. Hal yang demikian juga disebutkan oleh sukma dan joewono, partai islam kini dibagi berdasarkan sikapnya terhadap relasi Islam-Negara kedalam dua kelompok.
Kelompok pertama menginginkan agar hukum islam diterapkan di dalam negara dan kelompok kedua begitupun sebaliknya. Keadaan ini pun mempengaruhi ulama dalam memainkan peranan politik dalam memenangkan partai tertentu sesuai posisinya.
Beranjak dari masa perjalanan politik islam indonesia pada orde lama, orde baru dan era reformasi politik umat islam sangat mendapatkan tekanan yang sungguh luar biasa dari setiap pergantian dan peralihan kekuasaan. Namun, hal ini tidak mengurangi esensi berpolitik dikalangan umat islam itu sendiri.
Karena Pada prinsipnya ini dijadikan sebagai pedoman dan semangat perjuangan dalam konteks berdemokrasi yang berasaskan pada ideologi pancasila. Oleh sebab itu, ada cacatan penting yang harus kita ketahui adalah perjuangan politik umat islam indonesia akan mengalami suatu perubahan yang sangat signifikan untuk membawa perubahan masa depan demokrasi indonesia yang lebih baik.
Hal ini, kita bisa ukur dari peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini. Tahun 2018 dan 2019 akan menjadi momentum bagi umat islam untuk menunjukkan jati dirinya di pentas politik nasional. Karena fenomena politik 212 dijadikan sebagai titik awal kebangkitan politik di tanah Air. Namun, ada pendapat yang juga menyatakan bahwa peristiwa politik 2018 dan 2019 adalah pesta demokrasi rutinitas yang biasa saja.
Kalaupun ada gejolak, itu lebih disebabkan karena naiknya suhu politik dan fenomena politik 212 hanya menjadi bagian dari proses pemanasan suhu politik yang biasa. Akan tetapi, menurut hemat saya inilah semangat, harapan dan kesadarana yang baru untuk menunjukkan bahwa ini jadi diri umat islam indonesia didalam memainkan peranan politiknya untuk membangun dan mewujudkan demokrasi indonesia yang lebih baik.
Seperti apa yang kemudian dikatakan oleh Prof. Dr Ahmad Syafii Maarif bahwa, ‘’tumbuhnya kesadaran akan pentingnya mengekspresikan islam dalam bingkai keindonesiaan. Tumbuhnya kesadaran ini sudah tercermin sejak periode awal pembentukan republik indonesia’’.
Pertarungan politik pada Pilpres 2019, umat islam indonesia dihadapkan pada pergulatan wacana untuk meyakinkan suara umat islam, ke Jokowi atau Prabowo. hal ini sudah terwakilkan oleh organisasi-organisasi umat islam secara nasional. Seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan Organisasi- oraganisasi Islam lainnya itupun juga dilihat dari garis turunannya.
Oleh sebab itu, peta politik nasional juga bisa dilihat dari bagaimana peran politk umat islam akhir-akhir ini dalam menyongsong demokrasi indonesia yang akan terjadi pada tahun 2019 merupakan fenomena demokrasi indonesia dalam konteks ideologi pancasila yang harus kita jadikan sebagai pedoman dan tujuan dalam membangun cita-cita besar bangsa.
Fenomena politik umat islam indonesia merupakan bagian dari mengekspresikan islam dalam konteks keindonesiaan karena islam sebagai agama yang rahmatan lil-‘alamin. Islam yang dalam pergaulan sehari-hari tidak membeda-bedakan suku, ras, bahasa, bahkan agama itu sendiri.
Harapan terbesar adalah semoga pertarungan politik pada pemilihan umum 2019, posisi dan peran partai islam sejatinya diletakkan pada khitah perjuangan demokrasi indonesia yang berasaskan pada ideologi pancasila dan lebih pada memperjuangkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara yang lebih maju dan sejahtera (***)
Oleh: M. Idris Rumodar (Ketua Bidang PU HMI Cabang Ambon)