Hadirkan Politisi, Aktivis dan Akdemisi Muda Maluku

BERITABETA, Ambon – Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon  menggelar diskusi publik yang diberinama Ngobrol Politik Islam Indonesia (NGOPI).

Gelar diskusi yang mengusung tema “Mencari Titik Temu Politik Islam Indonesia: Untuk Mewujudkan Demokrasi Yang Beradab,” ini berlangsung Minggu (7/10) sore, di Rumah Kopi Lela, Jalan Sam Ratulangi, Kecamatan Sirimau, kota Ambon.

Panelisnya masing-masing, Subhan Pattimahu, Ketua DPD KNPI Provinsi Maluku, Rovik Akbar Afifudin, Politis PPP Kota Ambon, dan Dr. Abdul Manaf Tubaka, Akademisi (Sosiologi Agama) IAIN Ambon.

Subhan Pattimahu mengatakan, demokrasi dan tantangan kaum muda dalam perwujudan demokrasi merefleksikan tahun 1955 dimana politik Islam hadir dimana pemilu pertama di Indonesia ditandai lahirnya partai politik masing-masing Masyumi, PNI, NU dan PKI.

Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik.

Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekret 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin. Menurut dia, Politik Islam Indonesia mengadopsi gaya timur tengah misalnya Mesir, Turkey dan lain-lain. Merujuk Kongres Islam di Cirebon pada 1922 (pra kemerdekaan). Pula ada Kongres Umat Islam (1937) di Yogyakarta melahirkan MIAI sebagai embrio Masyumi di era penjajahan Jepang.

Pada Oktober 1945, Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta mengesahkan kata jihad fi sabilillah sebagai bentuk pengesahan resolusi jihad NU yang digelorakan di Surabaya. Tahun yang sama, lanjutnya, lahirlah Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai wadah permusyawaratan umat Islam Indonesia.

Kongres umat Islam Indonesia berikutnya mengalami dinamika artikulatif dan konsolidatif. MUI yang lahir pada 1975 baru mengambil peran aktif untuk merevitalisasi kongres umat Islam pada 1999 di awal reformasi dan disemati sebagai KUII ketiga.

“Politik Islam Indonesia intinya memberikan edukasi dalam demokrasi yang dianut bangsa ini untuk mewujudkan demokrasi yang beradab. Hanya saja haruys menghindari justifikasi antar kelompok-kelompok,” ujarnya.

Rovik Akbar Afifudin mengatakan, politik Islam sudah ada sebelum lahirnya NKRI (1912) ditandai dengan lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) kemudian bermetamorfosis ke Sarekat Islam (SI). Dan seterusnya melahirkan ideologi Indonesia.

“Ada sarekat islam merah dan hijau. Seterusnya lahir muhammadiyah, NU dan lain-l;ain. Diskursus pasca kemerdekaan Muhammadiyah mewakili Islam moderat dan NU mewakili Islam tradisional. Kemudian lahirnya HMI dan seterusnya. Islam tidak hanya bertumpu pada kuantitas tetapi kualitas sangat berpengaruh dan punya andil bagi bangsa ini. Karena ada fase-fase sebelumnya sudah ada gerakan politik Islam. Jadi bukan hal yang tabu lagi,” jelasnya.

Foto bersama para panalis dengan panitia pelaksana diskusi Ngopi

Sejarah mencatat ihwanul muslimin (organisasi islam di mesir), kata dia, juga ikut berinvestiasi untuk kemerdekaan Indonesia. “Harus menghindari justifikasi kafir dan tidak. Misalnya HTI mengkafirkan yang nasionalis, sebaliknya yang nasionalis mengkafirkan HTI. ini yang wajib dihindari. Dua-dua ini cenderung saling klaim atau menjustifikasi satu sama lain,” tandasnya.

Jika bicara jujur, lanjutnya, kondisi saling klaim tersebut harus dijembatani. Sebab, khilafiah hanya ada di kepala. Karena tidak ada senjatanya.

“Dahulu ketika para ulama berbeda dalam fiqih, tidak saling menuding, tetapi menulis buku sehingga ada khazanah intelektualitas yang hidup (dialektika). Saya khawatir, generasi seterusnya paranoid terhadap sesuatu yang masih dalam hayalan. Kalau soal politik islam, bukan lagi hal yang tabu. Tentunya, harus didiskusikan. Tidak harus membahas kepentingan kecil,” tuturnya.

Jalan tengah, politik Indonesia adalah pancasila. “Kalau masih ada perdebatan, untuk diskusikan tentag pancasila, ya generasi bisa menuangkan konsepnya. Soal politik islam di indonesia tidak perlu dikhawatirkan,” papar mantan Ketua Umum HMI Cabang Ambon ini.

Rovik menyebut, ada Politik Islam dan Islam Politik. Islam tak bisa diklaim dalam politik. “Islam harus ada di ruang publik untuk mengimplementasikan konsep Islam sebagai pemberi rahmat bagi alam alam,” tegasnya.

Akademisi IAIN Ambon, Dr. Abdul Manaf Tubaka membedah tiga ideologi. Yaitu Soekarno dengan nasionalis agama dan komunis (nasakom), Soeharto dengan ansir-anasir politiknya memperkecil partai politik, hingga memfusikan partai islam hanya ada PPP. Soeharto menjadiklan Islam sebagai kekuasaannya. Kemudian era reformasi soal sekularisme dan pluralisme .

Soal politik nilai-nilai Islam harus dipahami secara benar. Tidak kaku melihat politik. “Politik islam kiblatnya ke Pancasila. Sedangkan Islam politik tidak berkiblat ke Pancasila. Artinya kita tidak semestinya gagap dalam memahami demokrasi,” ujarnya.

Intinya, menurut Dr. Manaf, dalam politik Indonesia,  tidak semestinya menginstitusikan agama kedalam negara. “Artinya cukup nilai-nilai Islam itu diimplementasikan dalam politik guna membangun demokrasi yang beradab,” pungkasnya. (BB/DIO)