Kopi bukan minuman biasa. Selalu penuh cerita dan budaya. Sangat lekat dengan kaum santri dan ulama. Sebuah komunitas yang  mendalami agama dan dikenal taat ibadah. Bahkan, jauh sebelum budaya ‘ngafe’ dikenal Barat. Melalui santri kopi mendunia. Kok bisa?

Kaum santri terbiasa ngopi mulai abad ke-9 H/15 M. Sedangkan Barat baru mengenalnya pada abad ke-17 M. Tapi, kini gerai-gerai kopi mereka merajai dunia. Sebutlah Starbuck. Gerainya mencapai 27.339 buah di seluruh dunia (cnbcindonesia.com/19-08-2018). Sementara santri, masih asyik dengan ‘ngopinya.

Berasal dari Ethiopia santri mulai mengenal kopi melalui Yaman pada akhir abad ke-9 H. Para ulama sufi yang menemukan khasiatnya. Bisa menahan ngantuk. Dari Yaman kopi merambah ke kota-kota Islam di Hijaz, Mesir, dan Syam pada abad ke-10 H yang saat itu berada di bawah Dinasti Mamluk (1250-1517 M).

Sejarawan Ibn al-Imad (w.1089 H), penulis biografi ulama, Syadzarât al-Dzahab, mencatat, Abu Bakar bin Abdullah, ulama pengikut tarekat Syadziliyah, diketahui membuatnya dengan biji kopi (al-bunn) dari Yaman. Ternyata bisa membuat mata melek, dan giat ibadah malam. Dia pun anjurkan para pengikutnya untuk banyak ngopi.

Di beberapa wilayah negeri Syam, saat itu kopi identik dengan tarikat Syadziliyah. Dalam tradisi ngopi mereka, cangkir kopi pertama ditumpahkan ke tanah. Itulah ‘jatah’ pendiri Tarikat Syadziliyyah. Jadi, para sufi itulah yang mengajari dunia ‘ngopi’.

Ilmuwan Muslim Ibnu Sina (w.1037) dalam kitab al-Qânûn fi al-Thibb menjelaskan jenis minuman ini disebut ‘qahwah’ karena bisa menahan atau menghilangkan nafsu makan. Kata kerja ‘aqha’ berarti ‘meninggalkan’ makanan meski berselera.

Qahâ al-rajulu diungkapkan jika seseorang tidak nafsu makan. Kata qahwah mulanya salah satu nama khamar dalam tradisi Arab klasik. Mereka biasa beri nama sesuatu dengan antonim/kebalikannya (al-adhdâd). Perempuan cantik mereka sebut qabîhah (buruk rupa). Minuman dari biji kopi disebut qahwah karena membangkitkan dan menyegarkan pikiran. Sebaliknya, khamar bisa menghilangkan akal pikiran. Keduanya memiliki kesamaan; bisa mengurangi/menghilangkan selera makan.

Di kalangan sufi, kopi digemari. Tapi ulama fiqih abad 15 M terbagi. Antara yang mengharamkan dan yang menghalalkan. Polemiknya cukup panas. Sepanas cangkir kopi. Sampai-sampai muncul hadis palsu yang menyatakan, “Yang minum kopi akan dibangkitkan pada hari Kiamat dengan muka hitam dari bawah cawan kopi”.

Al-Arna`uth dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Budaya Kopi dan Kafe” (Min al-Târîkh al-Tsaqâfiy lil Qahwah wal Maqâhi) menyebutkan polemik tentang hukum ‘ngopi’ pecah pertama kali di Mekkah pada tahun 1511 M. Saat itu penguasa Dinasti Mamluk menugaskan Kheir Beik sebagai pejabat hisbah (polisi adab) di Makkah.

Pertama datang di bulan maulid dia melihat komunitas sufi ngopi kebanyakan. Saling bergantian dari sebuah cawan besar. Hampir seperti orang mabuk. Kopi dijual di pinggir-pinggir jalan kota Makkah. Ada yang menyerupai tempat minuman keras. Diiringi hiburan yang terkadang keluar batas.

Kheir Beik mengumpulkan ulama Hejaz untuk mengkaji hukum ngopi. Pro kontra bermunculan. Bahkan ulama madzhab Syafi’i di Makkah, Syeikh Nuruddin, sampai dikafirkan oleh ulama yang mengharamkan kopi gara-gara fatwanya yang menghalalkan ngopi.

Fatwa ulama Makkah yang mengharamkan kopi dikirim ke Kairo. Tetapi penguasa Mamalik di Kairo sudah pegang fatwa lain dari ulama Mesir. Menurut mereka, ngopi itu halal. Tidak berdosa. Keharamannya bila dilakukan dengan cara-cara yang haram seperti pada khamar. Fatwa halal ini membuat kopi dan ngopi semakin popular.

Hampir selama tiga abad ‘ngopi’ diperbincangkan ulama. Antara yang mendukung dan yang menolak. Dalam buku Rihlat al-Syitâ wa al-Shayf (Perjalanan Musim Dingin dan Panas), Muhammad Abdullah al-Husaini, yang popular dengan nama Kibrit al-Madani (w.1070 H), bercerita penguasa Makkah pernah akan menetapkan larangan minum kopi.

Salah seorang penasihatnya memberi saran sebaiknya jangan melarang ngopi. Itu tidak mungkin terjadi. Bahkan hanya akan membuat kopi semakin popular.

Saat ditanya alasannya ia menjelaskan, hitungan angka (hisab al-jummal) kata ‘qahwah’ sama dengan nama Allah ‘al-qawiyy’. Kata qahwah yang terdiri dari huruf qaf – ha-waw–ta hitungan bilangannya adalah 100 + 5 + 6 + 5 = 116. Begitu juga kata `qawiyy’ yang terdiri dari huruf qaf–waw-ya mempunyai hitungan bilangan 100+6+10 = 116. Mendengar itu, sang penguasa pun mengurungkan niat melarang ‘ngopi’.

Berdasarkan sistem bilangan abjad Arab di atas ngopi identik dengan kuat. Hatim al-Ahdal, seperti dikutip al-Adkawi (w.1770 M) dalam Husn al-Da`wah lil Ijâbah ilal Qahwah (Ajakan Baik untuk Memenuhi Undangan Ngopi) menjelaskan beberapa khasiat ngopi. Antara lain, “merangsang anggota badan jadi semangat, menenangkan jiwa, mengusir galau, mendatangkan inspirasi, membuat hati khusyuk, mengajak taat dan begadang malam untuk ibadah, mencerahkan penglihatan, membersihkan kandung kemih dan melancarkan buang air kecil”.

Manuskrip selesai ditulis pada jumat pagi, 14 Jumadal Ula 1171 H. Demikian penutup al-Adkawi. Kalau begitu, mari kita lanjut ngopi. Terlebih di Hari Santri.

Oleh: Muchlis M Hanafi (Sekjen Organisasi Internasional Alumni Al Azhar cabang Indonesia (OIAA)

Tulisan ini sudah dimuat di www.Republika.co.id