BERITABETA, Ambon – Di saat semua orang sedang memulai euforia tren kopi gelombang ketiga, Joas Layan justru telah menekuninya sejak lama. Bagi penggemar kopi kelas dunia, mungkin mendengar riwayat tentang Joas Layan, pastinya akan menyamakan sosok ini, seperti peracik kopi dunia asal Jepang.

Katsuji Daibo, itulah nama yang melagenda dari sejumlah literatur tentang sejarah peramu kopi. Nama yang cukup kuat bagi mereka yang mendalami kopi dengan kesungguhan. Sekiranya kalian belum pernah mendengar tentangnya, Daibo adalah sesepuh yang bukan hanya dianggap penting dalam tren seduh manual, tapi juga dunia kopi secara keseluruhan.

Ia mungkin belum setenar Howard Schuldtz, tapi orang-orang yang mengenalnya akan memberikan salut panjang, bahkan sampai jauh setelahnya.

Setidaknya James Freeman dari Blue Bottle dan Matt Goulding dari Roads and Kingdoms telah terang-terangan menunjukkan respek mereka yang mendalam kepada tokoh ini. Lagi-lagi nama-nama ini hanya bisa dikenal oleh pecinta kopi dunia.

Daibo-san menyiapkan kopinya mulai dari memilih biji kopinya. Memilih biji kopi, satu per satu dengan tangan—hingga tahap menuangkan hasil seduhan ke dalam cangkir yang akan diberikan kepada pelanggan. Semua proses itu ibarat magis yang membius dan membawa setiap orang kepada pengalaman personal yang mungkin tak akan dilupakan.

Jika Katsuji Daibo mulai tertarik pada kopi ketika industri kopi sedang mengalami masa jaya di Jepang pada era 60-an, Joas Layan mungkin generasi setelah Daibo.

Seduhan Kopi Susu, Racikan Joas..

Daibo terkenal di Jepang dan mungkin dunia, tapi Joas Layan, dikenal di kota kecil di Provinsi Maluku, bernama Ambon.

Bermula dari profesi sebagai pencuci cangkir dan gelas di Rumah Kopi Selekta, kota Ambon, Joas Layan kemudian memberanikan diri tampil sebagai barista di rumah kopi tersebut.

Tahun 1982, remaja asal Larat Maluku Tenggara itu, mengasah keterampilan meracik kopi hingga terkenal sejagad kota Ambon saat ini. Keterampilan Joas, menyangrai biji-biji kopinya dengan roaster kecil bergaya tradisional dengan  takaran yang ia pilih yang tepat membuat sajian kopi Joas terkenal dimana-mana. Laris manis kopi Joas, memang tidak datang begitu saja. Budaya ngopi yang menjamur, seakan membawa berkah bagi sang barista Joas Layan.

Sudah menjadi tradisi yang mendunia. Begitu juga warga Kota Ambon. Kopi tidak hanya dinikmati sambil melakukan percakapan. Bahkan, mereka yang mendengarkan musik, menonton pertunjukan, bermain catur, dan mengikuti berita juga diiringi kopi.

Kedai kopi pun dengan cepat menjadi tempat penting untuk pertukaran informasi yang sering disebut sebagai “schools of the wise” yang berarti sekolah kebijakan.

Sekolah kebijakan, sekiranya makna yang cukup bombastis, tapi itulah realita. Rumah kopi di kota Ambon sudah menjadi tempat persinggahan sejumlah tokoh dan segmen penikmat kopi di kelas bawah. Semua berbaur dalam nikmatnya rasa kopi. Inilah yang membuat, warung kopi dapat  ditemui hampir di setiap sudut kota.

Sejak dulu warga Kota Ambon sudah terbiasa melepas penat di rumah kopi. Lebih-lebih lagi pasca konflik menerpah daerah ini. Menilik sejarah, setelah kerusuhan di kota Ambon banyak aktifis yang bertemu untuk berdiskusi di rumah kopi. Rumah kopi juga menjadi ajang mempertemukan pihak-pihak yang bertikai.

Mereka kemudian saling berbicara dan mencari solusi, dan mendamaikan banyak kalangan. Kini, tidak hanya para aktifis, perempuan, dan para orang tua juga kerap datang sambil membawa anak-anak mereka. Padahal dulu rumah kopi identik dengan pelanggan pria dewasa dan orang tua.

Kini tradisi ngopi di Kota Ambon makin menggila. Dari banyak nama, Kopi Joas merupakan warung kopi yang paling ramai  dikunjungi. Mulai dari pagi hingga sore, warung kopi tradisional ini  dipenuhi oleh para penikmat kopi yang rata-rata adalah pria. Sambil  menikmati jajanan tradisional khas Maluku, para pengunjung menikmati  kopi panas sembari berbincang dengan teman-teman.

Nama Kopi Joas adalah adopsi dari nama  seorang pria  ramah berusia 59 tahun. Joas, begitu ia biasa disapa oleh para pelanggan setianya, besar di sebuah desa kecil di Maluku Tenggara sebelum ia  pindah ke Ambon di tahun 1972.

Joas pernah mengelola rumah kopi dan memiliki tiga cabang yang tersebar di kota Ambon dan mempekerjakan  lebih dari 50 orang karyawan. Setiap harinya ia mengolah 300 sampai 400  kilogram biji kopi.

Joas menyebutkan bahwa ia hanya menggunakan kualitas biji kopi  terbaik untuk para pelanggannya. Rahasia di balik nikmatnya kopi di  tempatnya, menurutnya, adalah hasil racikan biji kopi Arabika dan  Robusta berkualitas tinggi.

“Menjaga kualitas kopi merupakan hal yang  sangat penting,” ujar Joas.

Tidak seperti masyarakat di pulau Jawa yang cenderung lebih suka  menikmati kopi hitam, penikmat kopi di Ambon menyukai kopinya dicampur  dengan susu. Kopi susu Ambon memiliki rasa yang sangat khas, hasil dari  percampuran susu manis kental dan kopi berkualitas tinggi.

Selain kopi, Kopi Joas juga menyediakan banyak pilihan makanan kecil,  salah satunya Pisang Mangkal. Digoreng dengan tepung yang tidak terlalu  banyak, menu pisang tradisional ini merupakan favorit di tempat ini.

Dari luar, Kopi Joas hanya terlihat seperti rumah biasa, kecuali banyaknya  motor yang diparkir di depannya. Tidak ada alat pendingin udara seperti  layaknya tempat-tempat kopi di Jakarta. Pintu dan  dibiarkan  terbuka lebar sehingga udara segar bisa masuk.

Di dalam suasananya sangat hangat  dan bersahaja. Begitu masuk, pelanggan akan disapa oleh keramahan para  pelayan. Namun mungkin, hal itu yang membuat Kopi Joas spesial. Joas  mengatakan bahwa warung kopinya selalu digunakan sebagai tempat untuk  bercengkrama.

“Orang-orang senang menghabiskan waktu mereka di sini,” tambah Joas.

Joas juga menyebutkan dengan bangga bahwa warung kopinya sudah  menjadi semacam ikon kota Ambon. Pamor cita rasa seduhan kopi khas Ambon, Maluku, melekat dengan racikan tangan Joas Layan.

Selama lebih dari separuh usianya, ia bergumul dengan kopi sekaligus menyaksikan pahit-manis perjalanan kota itu. Pribadinya bersama rumah kopi dan kota ini seakan menyatu dalam satu tarikan garis lurus.

Kedai kopi pertama miliki Joas Layan yang kini populer disebut rumah Kopi Joas kerap menjadi tujuan para pelancong yang mengunjugi Kota Ambon.

Proses racikannya untuk satu porsi kopi yang disajikan di cangkir setinggi 15 sentimeter, Kopi Joas menggunakan satu sendok bubuk kopi yang disiram air panas. Sepertiga bagian cangkir itu sebelumnya sudah dipenuhi susu manis. Pemanis untuk kopi hanya dari susu, tanpa gula.

Bubuk kopi yang digunakan dimasak dalam air mendidih selama beberapa saat. Kopi ini dimasak di satu panci setinggi hampir satu meter. Jika ada yang memesan, para barista tinggal mengambil larutan kopi yang sudah dimasak dari sini.

“Setiap 10 hari saya menghabiskan sebanyak 50 kg kopi, yang saya pesan dari petani di Desa Sawai, Seram Utara,” tutur Joas.

Dari biji-biji kopi itulah tangan terampil Joas kemudian mengolahnya menjadi bubuk kopi yang seakan penuh magnet, menarik setiap pengunjungnya.

Berapa omzet yang dihasilkan Joas Layan dalam sebulan? Ketika pertanyaan ini diajukan, Joas enggan menjelaskan panjang lebar. Hanya dengan simple Joas menagatakan, “Disitulah rahasia usaha yang tak mungkin saya sampaikan,”katanya.

Seperti itulah sang barista Joas Layan, kerena keterampilannya kini nama Joas menjadi sorotan sejumlah pihak. Tahun ini misalnya Joas didaulat untuk mengikuti sebuah acara yang diberi nama ‘Pesta Kopi” yang akan digelar di Kota Makassar.

“Saya diminta pihak Bank Mandiri Cabang Ambon untuk mewakili Maluku di ajang pesta itu, dan saat ini kami sedang menyiapkan sejumlah kelengkapan menuju acara tersebut,” ungkapnya.

Dhino pattisahusiwa (pemred beritabeta.com)