Catatan: Abu Saimima

BERITABETA.COM, Ambon – Puluhan orang berkumpul memenuhi Aula di Hotel Wijaya II, tepat  di jalan Said Perintah, Kota Ambon. Berbagai elemen masyarakat datang bergumul untuk menyatukan persepsi dalam Fukus Group Discussion (FGD) pencegahan dan penaggulangan paham radikal dan terorisme  di wilayah Provinsi Maluku tahun 2019.

Kegiatan yang dibuka secara resmi Direktur Binmas Polda Maluku Kombes Pol. Gunawan Prijambodo, S.I.K. ini menghadirkan Kakanwil Kemenag Provinsi Maluku, Fesal Musaad, S.Pd, M.Pd,  sebagai pembicara utama FGD Quick Wins Renstra POLRI Tahun 2019 Penertiban dan Penegakan Hukum bagi Organisasi Radikal dan Anti Pancasila. Musaad memaparkan  konsep, aksi dan sumbangsih pemikiran pencegahan dan penaggulangan paham radikal dan terorisme di Maluku.

Menurut, Fesal sebagai orang-orang pilihan dan agen perdamaian yang hadir dalam kegiatan ini, seluruh peserta harus memahami kondisi Maluku secara kontekstual.  Maluku adalah daerah kepulauan (archipelago) dengan jumlah pulau 1430 pulau, secara sosio-kultural Provinsi Maluku, multi agama, relegius, multi etnis, multi kultur  terdapat 117 bahasa/dialeg, 100 suku dan subsuku.

Aksesibilitas dan konektiivas sangat rumit wilayah yang dikenal dengan negeri “seribu pulau” ini  berbatasan dengan Negara tetangga, Austalia, Papua New Guinea dan Timor Leste.

Di satu sisi wilayah  ini  Kaya akan kearifan lokal / local wisdom  yang relgius, ini merupakan kekuatan utama mencegah dan menanggulangi paham radikal dan terorisme asal terus disegarkan, dilestarikan untuk generasi milenial melalui ruang kelas, ruang rumah ibadah, dan ruang keluarga.

“Jika kita belajar dari berbagai peristiwa terorisme dan radikal yang lahir di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia,maka bisa menarik benang merah gerakan ini lahir karena berbagai faktor,”.

Kata Musaad, ekspresi dari pemahaman agama yang dangkal,  mempelajari agama secara instan melalui internet membuat generasi akan miskin kedalaman ajaran agama secara utuh literasi nilai agama,  faktor Pemahaman agama yang dangkal, literal, sepotong sepotong dan adhoc terhadap ayat-ayat suci, apalagi belajar agama secara instan dari media sosial dan google, akan membuat genarasi  miskin bahan pembanding.

“Tak ada ajaran agama yang mengajarkan menusia saling membunuh. Agama justru hadir sebagai fitrah  menuntun manusia  berbuat baik.  Baik kepada tuhan, baik kepada sesama manusia dan baik kepada alam semesta. Dan secara kultur kearifan lokal di negeri ini, merupakan kekuatan yang dapat dijadikan senjata memukul dan   menghancurkan paham radikal dan terorisme di Maluku” ujar Fesal Musaad,S.Pd,M.Pd. dalam Fukus Group Discussion (FGD), di Hotel Wijaya II Ambon, Rabu (20/03).”

Lahirnya gerekan teroriseme juga bisa disebabkan karena berbagai variabel  pengangguran, ketidakadilan, lemahnya penegakan hukum, ekonomi.

“Hancurnya negara negara besar seperti Yogoslavia, Bangladesh, Iran, Irak, Syuriah, Uni Sovyet termasuk kerajaan majapahit dan gajahmada bukan karena serangan dari luar, tapi justru keruntuhan dari negara bersumber dari dalam negara,  ini yang perlu diwaspadai,” katanya.

Berbagai cara ditempuh Pemerintah bersama dengan TNI dan Polri untuk memutus matas rantai radikalisme dan terorisme.  Ada dua pendekatan yang dilakukan  guna  mencegah gerakan ini lahir dalam kehidupan masyarakat  pertama  Hard aproach atau  perang melawan teroris, penangkapan teroris, penegakan hukuman keras/hukuman mati tugas Aparat Penegakan Hukum.

Pola kedua yang diakukan adalah “soft approach”  pendidikan deradikalisasi. Antaranya, melalui lembaga   pendidikan agama, sosialisasi moderasi beragama, distribusi naskah khutbah Jumat kerjasama dengan BINDA Maluku, pembinaan umat beragama, sosialisasi bahaya radikalisme, intoleransi dan terorisme. Kemudian,  penyegaran dan pelestarian kearifan lokal, dialog kerukunan intern dan antar umat beragama, silaturahim pimpinan lembaga keagamaan, penguatan FKUB, penguatan nilai-nilai kebangsaan, termasuk sosialisasi empat pilar kebangsaan. Secara faktual gerakan ini biasanya dimanfaatkan melalui momentum.

Tahun 2019 merupakan tahun politik masyarakat perlu mewaspadai hadirnya terorisme gerakan  disusupi  dengan memanfaatkan momet  tentu sulit dideteksi.

Waspada ditahun plotik karena eskalasi suhu politik akan meninggi, aspirasi yang tidak sama, beragam, aspirasi yang diagregasikan, dikompetisikan (ujaran kebencian, gesekan, konflik dan sengketa),  isu hoax yang diwujudkan melalui narasi radikalisme di dunia maya, eksploitasi agama untuk kepentingan politik yang berpotensi menimbulkan sentimen SARA, potensi pemanfaatan identitas primordial, agama, kultural dan dikhuatirkan dapat menimbulkan anarkisme sosial.

Perlu ada penyatuan persepsi  yang lahir sebagai solusi yang solutif untuk membasmi dan menaggulangi paham radikal dan terorisme lahir dinegeri ini dengan menjaga pengamalan nilai agama dalam bingkai NKRI, Kembalikan fungsi agama sebagai pemersatu hubungan persaudaraan antar sesama manusia.

Rumah ibadah, simbol agama, dan ritual keagamaan tak dicampuri dengan aktivitas politik praktis. ”  ASN harus berdiri  netral, menjaga suasana tetap kondusif, memberikan ceramah-ceramah yang sejuk, melek media sosial,” kata Fesal Musaad.

Kemudian teruslah menebar kedamaian  kedamaian harus kita tebarkan di lingkungan masyarakat, keluarga, tempat kita bekerja, Inti ajaran agama pada hakekatnya adalah mewujudkan kedamaian.  Islam, rahmatan lil ‘alamiin dan empat persaudaraan masing-masing ikhuwa Islamiyah, ikhuwa insaniah, ikhuwa wathaniyah, dan ikhuwa‘alamiyah, kristen dan katolik, dengan ajaran cinta kasih.

Hindu, bersama dalam  ajaran ahimsa, dan Budha, dengan ajaran kesederhanaan, serta Kunfusianisme, ajaran kebijaksanaan. “Nilai nilai ajaran ini terus ditanamkan dan direalisasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakat dengan terus menebar kedamaian,” jelasnya.

Melawan informasi bohong sebagai wujud ekspresi beragama,  saat ini kita berada di dunia tanpa batas, ledakan informasi manusia menjadi produk informasi, keliru, hoax dan disebarkan tanpa berpikir akibatnya. Kehilangan nalar dalam menyaring informasi, telan hoax mentah-mentah dan disebarkan, sangat berbahaya.

Publik perlu menata nalar, agar masyarakat senantiasa berdiri di atas kebenaran.  Arahkan energi menjadi positif juga menjadi perhatian bersama  masyarakat terurama generasi muda mengunakan energinya sebaik mungkin untuk aktivitas yang positif dan kreatif.

“Jika belum bisa menebarkan kebajikan di lingkungan, setidaknya generasi muda dapat ikut menghentikan penyebaran berita negatif di media sosial. Kalau ada berita hoax yang tidak mencerminkan bangsa kita yang agamis, hentikan di kita, jangan ikut-ikutan sebar luaskan hal negatif,” ungkapnya.

Salah satu aspek  paling berpengaruh sebagai kekuatan dan senjata melawan terorisme dan radikalsemis  adalah kearifan lokal / local wisdom  yang secara kultur hidup ditengah kita. Maluku memiliki sesuatu bernilai dan tidak ada didaerah-daerah lain di Indonesia.

Simbolisasi hidup bersama Pela Gandong, potong di kuku rasa di daging, Ale rasa beta rasa Maren artinya gotong royong, Ain ni ain, artinya saling memiliki, Vuut anmehe ngifun, manut an mehe tilur, artinya kita berasal dari satu moyang, Kalwedo dan masih banyak lagi.

Dunia sebenarnya sudah mengetahui kekayaan sosial kultur budaya orang Maluku. Bahkan Ambon kini menjadi sampel masyarakat bagi Indonesia dan  dunia sebagai kota paling harmonis tahun 2019. Mereka datang untuk belajar kerukunan umat beragama di negeri ini.

“Pulihnya maluku dari konflik horizontal berbau agama telah membuka mata dunia, mereka datang untuk melihat dan belajar dari kita. Harusnya kita  bangga karena  memiliki kearifan lokal / local wisdom yang mampu mempersatukan kita ditangah perbedaan. Dan ini bisa menjadi kekuatan dan senjata untuk memukul menghancurkan terorisme dan radikalisme di Indonesia terkhusus di Maluku yang kita kenal dengan julukan negeri “seribu pulau” ini,”  tutup Fesal Musaad. (###)