Oleh :  Iqbal Lamani, SP (Tenaga Fungsional Distan Kabupaten SBT)

Konsumsi beras di Indonesia yang terus bertambah dari tahun ke tahun turut menggeser sumber pangan Nusantara lainnya. Padahal, Indonesia memiliki banyak sumber pangan selain beras yang juga memiliki kandungan gizi yang baik.

Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah dan bumbu.

Dengan keberagaman tersebut, Indonesia disebutkan menjadi negara dengan keragaman sumber pangan tertinggi kedua di dunia setelah Brasil.

Namun, kemilau beras terus menggeser jenis sumber pangan nasional lainnya. Misalnya yang terjadi  di Papua. Dahulu, Papua menggunakan sagu sebagai sumber pangannya. Namun kemudian, Papua juga menjadikan beras sebagai sumber pangan, seperti di Jawa dan Sumatra, meskipun masyarakat Papua juga masih menanam sagu.

Dinamika ini membuat konsumsi beras menjadi tinggi di Indonesia dan terus  mendorong petani untuk menanam padi di berbagai jenis lahan, sekalipun di lahan yang sebenarnya tidak cocok untuk penanaman padi.

Komoditi beras merupakan komoditi yang sangat sensitif bila dibahas secara detail. Sebabnya beras sudah menjadi raja dari sejumlah jenis pangan di Indonesia. Bahkan pangan lokal seperti sagu tak mampu menyainginya, alih-alih sebagai pangan pengganti,  perlahan sagu  mulai redup citranya karena ditinggalkan, apalagi jika tidak ada inovasi dan peningkatan kualitas dan market yang baik.

Beras Lokal SBT “Gumumae Cap Pala”

Total konsumsi pangan bernama latin ‘oriza sativa’ ini secara Nasional menurut data BPS tahun 2018 totalnya telah  mencapai 29 juta ton. Sedangkan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku, kebutuhan akan beras kurang lebih 10 -11 ribu ton/tahun.  Dengan asumsi 0,23 kg/orang/hari atau setara dengan 230 gram/ orang/hari dari total jumlah penduduk di Kabupaten  SBT yang mencapai angka 133.669 jiwa.

Secara nasional konsumsi beras per orang per tahun sesuai ‘Pola Angka Kecukupan Energi’ adalah sebesar 2.200 KKal yang setara dengan 120 kg beras. Pemeintah Daerah Maluku sendiri telah menetapkan kebutuhan beras per kapita sebesar 80 kg, sedangkan 40 kg kontribusi dari pangan lokal umbi-umbian,sagu dll.

Dengan berbagai variabel tingkat konsumsi yang ada dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi mayoritas penduduk Indonesia sangat tergantung dengan beras. Kondisi inilah yang menjadikan beras sebagai komoditi politik yang dapat mempengaruhi stabilitas negara.

Sebagai bentuk progres yang baik dalam mengatasi problem ketersediaan pangan di tingkat lokal, maka beberapa waktu lalu Dinas Pertanian Kabupaten SBT telah me-launching (meluncurkan) beras dengan lebel ‘Gumumae’.

Pencapaian ini adalah bagian dari strategi menjadikan beras lokal sebagai ikon daerah. Meskipun produksi belum sebanding dengan luasan yang ada, akan tetapi progresnya telah memberikan dampak positif bagi pelaku usaha tani di daerah ini.

Tentunya, sarana penunjang seperti irigasi dan ketersediaan sumber air akan menjadi prioritas yang paling dibutuhkan oleh petani. Olehnya itu,  intervensi pemerintah daerah maupun pusat sangat dibutuhkan.  Di lain sisi persoalan market (pasar) juga menjadi kendala tersendiri, bukan soal minat atau animo konsumen, tapi lebih pada ketersedian produksi itu sendiri.

Beras sudah membudaya, maka komoditas ini sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat tanpa kenal segmen. Yang menjadi kendala adalah kontinuitas dari produksi yang dihasilkan petani lokal, yang boleh dikata belum mampu untuk memenuhi permintaan pasar.

Selain itu, branding yang menjadi identitas produk juga sangat penting. Dengan membudaya beras, maka otomatis  pasar beras sudah pasti menjadi incaran ribuan pebisnis.  Tentunya ada ribuan produk yang sejenis yang dijual. Brand hadir sebagai identitas, untuk membedakan produk yang satu dengan produk yang lainnya.  Dengan adanya brand, konsumen akan dapat memilih produk mana yang akan mereka konsumsi.

Maka branding sendiri didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk membuat nama, simbol atau pun identitas untuk membedakan satu produk/jasa dengan produk/jasa yang lainnya. Maka dari itu, penting bagi entrepreneur/pemilik bisnis untuk mempertimbangkan bagaimana branding untuk produk/jasa yang ingin dijual.

Untuk itu, bila  brand produk kuat sudah pasti  memberikan kesadaran terhadap konsumen untuk mengenal produk tersebut secara proposional.

Manyadari akan ini, maka bukan hal yang mustahil bila brand beras ‘Gumumae’ mampu melekat di hati masyarakat Seram Bagian Timur. Sehingga diharapkan perlahan-lahan mampu menggeser produk lain di pasaran lokal.

Fakta ini juga terungkap dari hasil monitoring dan evaluasi di lapangan yang menyebutkan hampir 75 persen produk  komoditas padi yang dijual dalam bentuk gabah ke pedagang di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) telah dikemas kembali dan dijual lagi di pasar lokal.

Sebuah ironi terjadi,  bila hal ini terus dibiarkan. Padahal kita memiliki pasar yang sangat potensial, apalagi ditunjang dengan fasilitas yang memadai seperti Rice Miling Unit, Combine Harvester,  Combine Transplanter dll. Integrasi antar intansi terkait perlu di ditingkatkan, karena elemen pendukung melekat pada masing-masing instansi terkait.

Dinas Perindustrian, Perdangangan dan Koperasi tentu memiliki peran yang cukup besar dalam melihat masalah ini. Sebab, produk ini sudah menjadi trend di tengah masyarakat. Mungkin salah satu proteksi yang harus dilakukan adalah membatasi alur masuk beras berlebel semisal beras dengan merk ‘A’ yang jelas-jelas  tidak memiliki ijin edar, dan belum tertulis secara jelas pada merek dagangnya.

Kita tidak menjustifikasi produk lain, namun sebagai bentuk ikhtiar terhadap produk-produk illegal yang kian marak digemari oleh konsumen lokal dan tidak memiliki izin resmi bahkan berefak ekonomi bagi daerah.

Banyak sekali produk-produk lokal yang bisa menjadi sumber PAD bagi daerah, khususnya SBT. Tentu mata rantai ini harus  diperhatian dengan menggunakan pendekatan manajerial yang professional dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Mulai dari hulu hingga ke hilir.  Artinya tidak saja fokus pada faktor produksi semata, melainkan aspek pasar pun harus tersedia dan ditata.

Salah satu instrumen pendukung yang paling menonjol di tingkat desa adalah  Bumdes yang memiliki peran dalam memasarkan produk2 lokal tersebut. Paling tidak ada terobosan yang mampu menumbuhkan perekonomian pedesaan, sehingga secara tidak langsung mampu mempertahankan branding beras Gumumae di pasaran.

Dua masalah fital di atas juga membuktikan adanya fakta yang terungkap dari  analisa probabilitas/peluang konsumen memilih produk lokal dalam kebutuhan pangan di tingkat lokal.  Terbukti masih kecil presentase jumlah konsumen yang memilih produk lokal. Hal ini disebabkan  adanya  rasio luas lahan dan produksi padi yang tidak seimbang, akibatnya untuk menutupi kekurangan stok di tingkat lokal harus diimpor dari kabupaten tetangga.

Tata Kelola Pangan Lokal

Dengan adanya kendala ini, maka kesenjangan yang terjadi di lapangan menjadi alasan  untuk perlu dilakukan pembenahan dalam tatakelola pangan  yakni dengan dilakukan perbaikan tata niaga masuk keluarnya produk pangan. Antaranya produksi, distribusi dan konsumsi.

Dengan demikian harus ada sangat diperlukan sinergitas antar OPD terkait dalam mengawal setiap produk dalam hal perizinan, produksi, market  bahkan sampai pada tingkat regulasi.

Selian itu, konsumsi pangan juga perlu dibenahi agar tidak terfokus pada komoditas tertentu. Jika itu dilakukan, bukan mustahil Kabupaten Seram Bagian Timur bisa menjadi  daerah yang menjadi lumbung pangan dan eksportir pangan.

Hal ini juga yang kini telah dilakukan Menteri Pertanian  Sahrul Yasin Limpo dengan menggagas konsep Sistem Komando Strategis Petani (Kostra Tani) untuk menjadikan Balai Penyuluhan di tingkat kecamatan sebagai Posko yang berbasis data yang dilengkapi perangkat digital.

Program ini dicetuskan  untuk dapat memantau pergerakan tanam, panen, dinamika pasar dalam dan luar serta pergerakan alsintan. Tentunya ini merupakan sebuah terobosan baru yang berorintasi pada hasil, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat terhadap sebuah produk, salah satunya ‘Beras Gumumae Cap Pala’. (***)