Legenda  ‘Sasi Lompa’ Antara Mitos dan Fakta

BERITABETA – Sejumlah lelaki dan perempuan berpakaian serba hitam, bertelanjang kaki, berjalan keliling Negeri Haruku. Salah satu negeri adat di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Malam itu, mereka yang tergabung dalam korps Kewang (pemangku adat) berkeliling untuk membacakan peratuan sasi ikan lompa.

Dalam tradisi sasi yang sudah berlangsung lebih dari tiga abad itu masyarakat adat dilarang mengambil sumber daya alam tertentu, sampai usianya memang sudah layak panen atau diambil.

Sebelum panen, masa pemeliharaan ikan lompa ini dilakukan dengan upacara adat “Panas Sasi” oleh Kewang yang mengingatkan warga agar memelihara dan menjaga lingkungan sekitar sungai Learisa Kayeli, sejauh kurang lebih 1500 meter yang menjadi tempat hidup dan habitat ikan.

Warga dilarang mengganggu atau menangkap ikan lompa saat berada dalam kawasan lokasi sasi yang ditandai dengan tonggak khusus, warga juga tidak boleh mencuci peralatan dapur atau membuang sampah ke sungai. Jika dilanggar akan ada sanksi atau hukuman sesuai ketetapan dalam peraturan sasi, berupa denda maupun pukulan cambuk rotan bagi anak-anak.

Belum ditemukan data dan informasi autentik tentang kapan sasi diberlakukan di desa ini. Tetapi, dari legenda atau cerita rakyat setempat, diperkirakan  pada tahun 1600-an, sasi sudah mulai dibudayakan di pulau  Haruku.

Pada zaman itu kepercayaan masyarakat masih dipengaruhi oleh kehidupan dengan alam sekitarnya (Animisme dan Dinamisme), hal ini menyebabkan secara turun temurun hubungan dengan alam selalu diwarnai dengan upacara atau ritual seperti Sasi.

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian   demi menjaga  mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut.

Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut.

Pada hakekatnya adalah norma hukum adat yang berlaku di pulau Haruku, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat. Termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga / penduduk setempat.

Sasi  memiliki  peraturan – peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat yang disebut  “Saniri”.

Di pulau Haruku Dewan Adat disebut nama dengan  Saniri’a Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”. Keputusan  kerapatan Dewan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang. Kewang adalah “Lembaga Adat dibawah Dewan Adat/Saniri yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan  pelaksanaan peraturan – peraturan Sasi.

Tutup Sasi Lompa

Bibit atau benih ikan lompa biasanya mulai terlihat secara berkelompok dipesisir pantai Haruku antara bulan April sampai Mei. Pada saat inilah, sasi lompa dinyatakan mulai berlaku (tutup sasi). Warga dilarang menangkap ikan, karena ukuran ikan masih terlalu kecil. Biasanya, pada usia kira-kira sebulan sampai dua bulan setelah terlihat pertama kali, gerombolan anak-anak ikan itu mulai mencari muara untuk masuk ke dalam kali.

Membentang jaring, memulai tradisi sasi lompa di negeri Haruku

Hal-hal yang dilakukan Kewang sebagai pelaksana sasi ialah memancangkan tanda sasi dalam bentuk tonggak kayu yang ujungnya dililit dengan daun kelapa muda (janur). Tanda ini berarti bahwa semua peraturan sasi ikan lompa sudah mulai diberlakukan sejak saat itu, antara lain:

  1. Ikan-ikan lompa, pada saat berada dalam kawasan lokasi sasi, tidak boleh ditangkap atau diganggu dengan alat dan cara apapun juga.
  2. Motor laut tidak boleh masuk ke dalam kali Learisa Kayeli dengan mempergunakan atau menghidupkan mesinnya.
  3. Barang-barang dapur tidak boleh lagi dicuci di kali.
  4. Sampah tidak boleh dibuang ke dalam kali, tetapi pada jarak sekitar 4 meter dari tepian kali pada tempat-tempatyang telah ditentukan oleh Kewang.
  5. Bila membutuhkan umpan untuk memancing, ikan lompa hanya boleh ditangkap dengan kail, tetapi tetap tidak boleh dilakukan di dalam kali.

Bagi anggota masyarakat yang melanggar peraturan ini akan dikenakan sanksi atau hukuman sesuai ketetapan dalam peraturan sasi, yakni berupa denda. Adapun untuk anak-anak yang melakukan pelanggaran, akan dikenakan hukuman dipukul dengan rotan sebanyak 5 kali yang menandakan bahwa anak itu harus memikul beban amanat dari lima soa (marga besar) yang ada di Haruku.

Buka Sasi Lompa

Setelah ikan lompa yang dilindungi cukup besar dan siap untuk dipanen (sekitar 5-7 bulan setelah terlihat pertama kali), Kewang dalam rapat rutin seminggu sekali pada hari Jumat malam menentukan waktu untuk buka sasi (pernyataan berakhirnya masa sasi). Keputusan tentang “hari-H” ini dilaporkan kepada Raja Kepala Desa untuk segera diumumkan kepada seluruh warga.

Upacara (panas sasi) yang kedua pun dilaksanakan, sama seperti panas sasi pertama pada saat tutup sasi dimulai. Setelah upacara, pada jam 03.00 dinihari, Kewang melanjutkan tugasnya dengan makan bersama dan kemudian membakar api unggun di muara kali Learisa Kayeli dengan tujuan untuk memancing ikan ikan lompa lebih dini masuk ke dalam kali sesuai dengan perhitungan pasang air laut.

Biasanya, tidak lama kemudian, gerombolan ikan lompa pun segera berbondong-bondong masuk ke dalam kali. Pada saat itu, masyarakat sudah siap memasang bentangan di muara agar pada saat air surut ikan-ikan itu tidak dapat lagi keluar ke laut.

Tepat pada saat air mulai surut, pemukulan tifa pertama dilakukan sebagai tanda bagi para warga, tua-muda, kecil-besar, semuanya bersiap-siap menuju ke kali. Tifa kedua dibunyikan sebagai tanda semua warga segera menuju ke kali.

Tifa ketiga kemudian menyusul ditabuh sebagai tanda bahwa Raja, para Saniri Negeri, juga Pendeta, sudah menuju ke kali dan masyarakat harus mengambil tempatnya masing-masing di tepi kali.

Rombongan Kepala Desa tiba di kali dan segera melakukan penebaran jala pertama, disusul oleh Pendeta dan barulah kemudian semua warga masyarakat bebas menangkap ikan-ikan lompa yang ada.

Biasanya, sasi dibuka selama satu sampai dua hari, kemudian segera ditutup kembali dengan upacara panas sasi lagi. Catatan penelitian Fakultas Perikanan Universitas Pattimura pada saat pembukaan sasi tahun 1984 menunjukkan bahwa jumlah total ikan lompa yang dipanen pada tahun tersebut kurang-lebih 35 ton berat basah.

Suatu jumlah yang tidak kecil untuk sekali panen dengan cara yang mudah dan murah. Jumlah sebanyak itu jelas merupakan sumber gizi yang melimpah, sekaligus tambahan pendapatan yang lumayan, bagi seluruh warga negeri Haruku.

Legenda Sasi Lompa

Menurut tuturan cerita rakyat Haruku, konon, dahulu kala di kali Learisa Kayeli terdapat seekor buaya betina. Karena hanya seekor buaya yang mendiami kali tersebut, buaya itu dijuluki oleh penduduk sebagai “Raja Learisa Kayeli”.

Buaya ini sangat akrab dengan warga negeri Haruku. Dahulu, belum ada jembatan di kali Learisa Kayeli, sehingga bila air pasang, penduduk Haruku harus berenang menyeberangi kali itu jika hendak ke hutan. Buaya tadi sering membantu mereka dengan cara menyediakan punggungnya ditumpangi oleh penduduk Haruku menyeberang kali. Sebagai imbalan, biasanya para warga negeri menyediakan cincin yang terbuat dari ijuk dan dipasang pada jari-jari buaya itu.

Pada zaman datuk-datuk dahulu, mereka percaya pada kekuatan serba-gaib yang sering membantu mereka. Mereka juga percaya bahwa binatang dapat berbicara dengan manusia. Pada suatu saat, terjadilah perkelahian antara buaya-buaya di pulau Seram dengan seekor ular besar di Tanjung Sial.

Dalam perkelahian tersebut, buaya-buaya Seram itu selalu terkalahkan dan dibunuh oleh ular besar tadi. Dalam keadaan terdesak, buaya-buaya itu datang menjemput Buaya Learisa yang sedang dalam keadaan hamil tua. Tetapi, demi membela rekan-rekannya di pulau Seram, berangkat jugalah sang “Raja Learisa Kayeli” ke Tanjung Sial. Perkelahian sengit pun tak terhindarkan.

Ular besar itu akhirnya berhasil dibunuh, namun Buaya Learisa juga terluka parah. Sebagai hadiah, buaya-buaya Seram memberikan ikan-ikan lompa, make dan parang parang kepada Buaya Learisa untuk makanan bayinya jika lahir kelak.

Maka pulanglah Buaya Learisa Kayeli ke Haruku dengan menyusur pantai Liang dan Wai. Setibanya di pantai Wai, Buaya Learisa tak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena lukanya semakin parah.

Dia terdampar disana dan penduduk setempat memukulnya beramai-ramai, namun tetap saja buaya itu tidak mati. Sang buaya lalu berkata kepada para pemukulnya: “Ambil saja sapu lidi dan tusukkan pada pusar saya”. Penduduk Wai mengikuti saran itu dan menusuk pusar sang buaya dengan sapu lidi. Dan, mati lah sang “Raja Learisa Kayeli” itu.

Tetapi, sebelum menghembuskan nafas akhir, sang buaya masih sempat melahirkan anaknya. Anaknya inilah yang kemudian pulang ke Haruku dengan menyusur pantai Tulehu dan malahan kesasar sampai ke pantai Passo, dengan membawa semua hadiah ikan-ikan dari buaya-buaya Seram tadi. Karena lama mencari jalan pulang ke Haruku, maka ikan parang -parang tertinggal di Passo, sementara ikan lompa dan make kembali bersamanya ke Haruku.

Demikianlah, sehingga ikan lompa dan make (Sardinilla sp) merupakan hasil laut tahunan di Haruku, sementara ikan parang parang merupakan hasil ikan terbesar di Passo.

(Disadur dari berbagai sumber )