KEBIJAKAN pemerintah untuk tidak melakukan mudik (pulang kampung) di tengah pandemi virus Corona merupakan sebuah kebijakan yang patut  disyukuri.  Tentu alasan menolak mudik merupakan sebuah langkah ikhtiar cukup berat, sebab mudik sudah menjadi tradisi dan keharusan. Paling tidak ada rasa bahagia ketika dapat berkumpul dengan keluarga.

Bahagia karena mudik memang penting, tapi lebih penting adalah tetap menahan diri dengan menyimpan kebahagian itu sebagai sebuah kenangan.  Bila tidak ingin menjadi carrier (pembawa penyakit) kepada mereka yang kita rindukan. Ataupun menjadi orang dengan potensi terjangkit dari virus mematikan itu. Keduanya sama-sama, merupakan  ketentuan (qadha) Allah.

Kondisi serupa pernah dilakukan oleh sosok Amir al-Mukminin Umar bin Khattab, ketika terjadi wabah Tha’un (penyakit) di masa kepemimpinannya pada tahun 17 atau 18 H.

Sebagai pemimpin negara saat itu, Umar mengadakan perjalanan dari Madinah menuju Syam bersama para Sahabat-sahabat Nabi Muhammad.  Dengan maksud untuk menguatkan pasukan Muslimin di sana dan membagi harta warisan para shahabat, setiba di Sargh, sebuah perkampungan ke arah Syam di penghujung wilayah Hijaz, Umar berjumpa dengan rombongan Abu Ubaidah al-Jarrah.

Ketika itu, Abu Ubaidah menyampaikan kabar perihal wabah Tha’un telah menyebar luas di Kota Syam. Seketika itu pula Umar mengadakan musyawarah dengan para pemuka Muhajirin dan meminta pendapat mereka perihal melanjutkan perjalanan menuju Syam atau kembali ke Madinah.

Di antara para Sahabat ada yang mengusulkan  agar tetap melanjutkan perjalanan ke Syam. Akan tetapi ada juga Sahabat yang mengusulkan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Syam dan kembali lagi ke Madinah.

Berikutnya Umar mengumpulkan para pemuka Anshar, menyampaikan masalah pandemi ini dan meminta pendapat. Tak berbeda dengan para Muhajirin, mereka pun terbagi menjadi dua kelompok antara melanjutkan ke Syam atau  kembali ke Madinah.

Belum kuat keyakinan Umar tentang pengambilan keputusan antara memasuki kawasan wabah, beliau menemui masyarakat di sana atau kembali ke Madinah.  Beliau kembali bermusyawarah denga para Sahabat senior yang mereka itu terlibat saat pembebasan kota Makkah.

Akhirnya kelompok ketiga ini sepakat, agar Umar beserta rombongan tidak memasuki Syam dan agar kembali ke Madinah.

“Besok pagi aku akan kembali (ke Madinah). Maka harap dimaklumi keputusan ini,” tegas Umar saat itu.

Mendengar sikap dan kebijakan Umar, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin pasukan di Syam, menyampaikan keberatan, seraya berkata, “Apakah (dengan keputusanmu itu) engkau hendak lari dari ketentuan (qadha) Allah?”

Umar langsung menyambut, “Andaikan yang bicara seperti itu bukan engkau wahai Abu Ubaidah, tentu aku….” Umar tidak melanjutkan. Mungkin Umar menghargai Abu Ubaidah sebagai pemimpin Syam ketika itu, Umar melanjutkan jawabannya:

“Benar, kita lari dari takdir Allah, kepada takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu andaikan engkau mempunyai sekumpulan onta yang memasuki dua jenis lembah, yang satu lembahnya subur dan satunya lagi tandus. Andaikan engkau menggembalakannya di lembah yang subur, maka sebenarnya itu atas takdir Allah, dan andaikan engkau menggembalakannya di lembah yang tandus, maka sebenarnya itu atas takdir Allah pula?.”

Umar ingin menjelaskan bahwa menyelamatkan diri dari penyakit dan kembali ke Madinah serta menutup jalan menuju ke kawasan wabah (lock down) juga merupakan takdir Allah SWT.

Pada saat Umar dan Abu Ubaidah bermusyawarah, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Auf, yang baru datang karena ada urusan. Ia menjelaskan, “Aku pernah mendengar Nabi bersabda:

“Jika kamu sekalian mendengar ada pandemi berjangkit di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya, dan jika pandemi berjangkit di suatu daerah dan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar dari sana karena melarikan diri darinya.”

Mendengar hadis Nabi Muhammad dari Abdurrahman bin ‘Auf, Umar langsung mengucapkan alhamdulillah, dan pada akhirnya Umar bersama rombongannya memilih untuk kembali ke Madinah. Sementara Abu Ubaidah dan rombongannya kembali pula ke Syam.

Lalu apa yang terjadi setalah Umar ke Madinah dan Abu Ubaidah pergi ke Syam?

Ternyata, wabah semakin hari semakin luas dan memakan korban yang sangat banyak, begitu sulit ujian yang ditanggung oleh umat Islam di Syam pada saat itu.

Peristiwa yang mencekam di Syam akhirnya sampai juga kepada Amir al-Mukminin Umar bin Khattab dan ia menulis surat kepada Abu Ubaidah agar menemuinya di Madinah.

Umar ingin Abu Ubaidah mencari tempat perlindungan dan menyelamatkan hidupnya. Namun Abu Ubaidah tetap ingin bersama dengan pasukan dan umat Islam di Syam.

Abu Ubaidah membalas surat Umar.

“Wahai Amirul-Mukminin, sesungguhnya aku sudah tahu maksud yang engkau inginkan terhadap diriku. Aku selama ini sudah membersamai pasukan-pasukan kaum Muslimin. Aku sangat mencintai mereka. Sedikit pun aku tidak berniat meninggalkan mereka hingga Allah membuat keputusan terhadap diriku dan mereka. Karena itu perkenankan aku kali ini untuk tidak mengikuti perintahmu wahai Amirul-Mukminin dan biarkan aku bersama pasukanku.”

Tatkala kondisi wabah semakin parah, penyebaran virus tak terkendalikan, dalam kondisi yang lemah karena sakit, Abu Ubaidah berdiri di hadapan kaum Muslimin di Syam dan berkhutbah.

“Wahai semua manusia, penyakit ini merupakan rahmat bagi kalian, ini adalah doa Nabi kalian. Ini adalah kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah agar diberikan bagian yang seperti itu.”

Tak terbayangkan kesetiaan dan kecintaan seorang pemimpin kepada masyarakatnya, yaitu kecintaan dan rasa tanggung jawab yang tulus dari Sahabat Nabi yang bernama Abu Ubaidah kepada pasukan-pasukannya, padahal ia bisa saja lari dan keluar dari kawasan wabah.

Allah menakdirkan Tha’un ‘Amwas ini menelan korban lebih kurang 25 atau 30  ribu pasukan kaum muslimin. Adapun para Sahabat Nabi yang meninggal, disebabkan Tha’un ‘Amwas, di antaranya: Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Syurahbil bin Hasanah, al-Fadhl bin ‘Abbas anak pamannya Nabi , Abu Malik al-Asy’ary, Yazid bin Abi Sufyan saudaranya Mu’awiyah, al-Harits bin Hisyam saudaranya Abu Jahal, Abu Jandal, Suhail bin ‘Amar ayahnya Abu Jandal.

Setelah meninggalnya beberapa Sahabat, seperti Abu Ubaidah, Mu’az bin Jabal, pada saat itu Amru bin Al-‘Ash melaksanakan keputusan social distancing (pembatasan social), seperti naik ke bukit, meninggalkan Kota Syam yang sudah terpapar virus, tinggal di perkebunanm dan tidak berkumpul dan menyebar ke bukit-bukit atau padang pasir (***)