“King of Krakatoa”, Tukirin yang Membanggakan Indonesia
Perkembangan selanjutnya, muncullah daratan yang diberi nama Anak Krakatau, tahun 1930. Daratan ini, sejak awal kelahirannya bertambah luas dan meninggi seirama detak vulkanis yang terjadi. Anak Krakatau ini yang sering kita sebut Gunung Krakatau.
Awal Mei 2016, adalah perjalanan ke dua saya bersama peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini ke Krakatau. Bagi Tukirin sendiri, ini adalah yang kesekian kalinya. Bila dihitung tiga setengah dasawarsa dedikasi keilmuannya untuk Krakatau, akan terjawab sebanyak itu pula perjalanan yang ia tempuh. Andai, ia lakukan sekali dalam setahun. Bosankah ia? “Tidak,” jawabnya mantab.
Menurut Tukirin, Krakatau memberinya informasi penting langsung dari alam. Misal, perkembangan awal terbentuknya hutan dan bagaimana tumbuhan datang yang bisa diketahui setiap kali ia bertandang.
Bidang pengetahuannya pada suksesi atau perkembangan vegetasi, menggambarkan jelas bagaimana beragam jenis tumbuhan yang ada di Krakatau, berkembang dan menghijaukan pulau itu. 1981, saat pertama kali ia datang, cemara laut (Casuarina) yang hidup hanya ada yang kecil dan sebagian besar. Kini, cemara yang berbadan besar itu tumbang, digantikan jenis ficus atau bangsa ara. Bagaimana bisa terjadi? Rahasia alam inilah yang terus ia gali.
Ada empat metode yang bisa menjelaskan bagaimana tumbuhan berlabuh di Krakatau. Melalui laut, angin, satwa, dan manusia. Tukirin mencontohkan, ficus yang tumbuh di Anak Krakatau kehadirannya disebarkan oleh binatang. Ketapang (Terminalia catappa) yang berkembang di pantai dipastikan dibawa air laut, sementara ketapang yang tumbuh di bagian dalam pulau diterbangkan kelelawar.
“Sekiranya terjadi letusan, dinamika perkembangan suksesi dapat diteliti lebih rinci. Kesempurnaan penelitian bisa diketahui dari awal, mulai jenis tumbuhan pionir yang muncul hingga peran penting mikroorganisme,” ujarnya.
Lelahkah Tukirin meneliti Krakatau? Di usianya yang kini menginjak 64 tahun, tanda-tanda letih pada tubuhnya tidak tampak, terlebih untuk mendaki Krakatau. Andai ia pensiun dari tempatnya bertugas tahun depan pun, ia masih terlalu gagah untuk menyandang predikat tersebut.
Perjalanan saya yang pertama, April 2015, dan yang kedua ini, memperteguh keyakinan saya bahwa Tukirin memang berjodoh untuk menelisik dan menapaki Krakatau yang terus tumbuh. Ada dua puncak yang siap ditaklukkan. Puncak pertama setinggi 150 meter, dan puncak kedua sekitar 450 meter lebih dengan garis tengah kurang lebih tiga kilometer.