BERITABETA.COM,  Bandung – Beberapa daerah di pesisir Selat Sunda terkena dampak tsunami dengan ketinggian gelombang yang beragam dan datang secara tiba-tiba. Gelombang tsunami yang mencapai garis pantai tanpa didahului oleh adanya gempa atau surutnya muka laut menimbulkan banyak pertanyaan mengenai penyebab terjadinya.

Dua ahli menjelaskan secara terpisah terkait kejadian ini. Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Mirzam Abdurrachman ST,MT dan Ahli Ekologi dan Evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Tukirin Partomihardjo yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya meneliti Krakatau.

Saat ditanya apakah gempa tektonik, pasang purnama, letusan anak krakatau atau bahkan tumbukan meteor di tempat tertentu?

Dr. Mirzam Abdurrachman ST,MT menjelaskan bahwa Anak Krakatau terus menggeliat akhir-akhir ini lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Letusan besar terjadi pukul 18.00 dan terus berlanjut hingga pagi ini dan terdengar hingga Pulau Sebesi yang berjarak lebih dari 10 km arah timur laut seperti di laporkan tim patroli.

Suatu gunung yang terletak di tengah laut seperti halnya Anak Krakatau atau yang berada di pinggir pantai, sewaktu-waktu sangat berpotensi menghasilkan Volcanogenic Tsunami.

“Volcanogenic Tsunami bisa terbentuk karena perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api,” ujar Mirzam dalam keterangan tertulis seperti dikutip Merdeka Bandung, Minggu (23/12).

Dia menjelaskan sedikitnya ada empat mekanisme yang menyebabkan terjadinya volcanogenic tsunami. Pertama, kolapnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut. “Mudahnya seperti meletuskan balon pelampung di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya,” ujarnya.

Kedua, kata Mirzam pembentukan Kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba. Menekan gayung mandi ke bak mandi kemudian membalikannya adalah analogi pembentukan kaldera gunung api di laut. “Mekanisme 1 dan 2 pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883. Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan,” ucapnya.

Ketiga disebabkan longsor, lanjut Mirzam, material gunungapi yang longsor bisa menyebankan memicu perubahan volume air disekitarnya. Tsunami tipe ini pernah terjadi di Mt. Unzen Jepang tahun 1972, banyaknya korban jiwa saat itu hingga mencapai 15.000 jiwa disebabkan karena pada saat yang bersamaan sedang terjadi gelombang pasang.

Keempat, karena aliran piroklastik. Aliran piroklastik atau orang terkadang menyebutnya wedus gembel yang turun menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi, bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai. Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Mt. Pelee, Martinique meletus pada 8 Mei 1902. Saat aliran piroklastik Mt. Pelle yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami.

“Volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya, namun bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda tadi malam. Diperlukan penelitian lebih lanjut buat memastikan penyebab utama Tsunami di Selat Sunda,” katanya.

Sementara  Tukirin menjelaskan kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut dan gelombang pasang. Tukirin saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/12/2018), sependapat dengan yang dikemukakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil di Selat Sunda.

Tukirin sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau itu, menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.

Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.

“Saya punya pengalaman sedang di darat, di Gunung Anak Krakatau, kemudian terjadi getaran karena aktivitas vulkanik, getaran saja. Itu dinding Anak Krakatau yang setinggi 400 meter itu longsor, sampai ke laut. Tapi tidak menimbulkan tsunami, karena itu kan di darat,” kata dia.

Menurut Tukirin, tsunami yang terjadi hanya karena longsoran tebing bawah laut biasanya tidak menimbulkan gelombang besar.

Kendati demikian, katanya, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh. Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.

“Mungkin di samping getaran itu juga ada pasang laut perbani pada bulan purnama. Sehingga air laut naik, ditambah itu (longsoran, red.), terjadilah gelombang yang cukup besar,” kata dia. (BB-DIO-MRC)