BERITABETA, Ambon – Kapan dan di mana persisnya gempa akan mengguncang, tak bisa diramalkan. Gempa adalah misteri. Namun, panel ilmuwan yang tergabung dalam The Headquarters for Earthquake Research Promotion memperingatkan, sebuah lindu dahsyat berpotensi terjadi di Jepang.

Peringatan tersebut disampaikan pada Selasa 19 Desember 2017. Menurut para ilmuwan, gempa berpotensi mengguncang dengan kekuatan yang melampaui 8,8 skala Richter (bahkan ada yang menyebut 9 SR) di pantai timur pulau Hokkaido. Peluang terjadinya lindu antara 7 hingga 40 persen dalam kurun waktu 30 tahun.

“Saya berharap upaya persiapan bencana ditinjau berdasarkan kemungkinan gempa bumi raksasa, seperti yang pernah mengguncang wilayah Tohoku, juga bisa terjadi di Hokkaido,” kata profesor seismologi di Universitas Tokyo, Naoshi Hirata, yang memimpin panel, seperti dikutip dari Asahi Shimbun kala itu.

Pada Maret 2011, gempa dengan magnitude 9 SR mengguncang Honshu, pulau utama di Jepang. Lindu itu adalah yang terkuat dalam sejarah Negeri Matahari Terbit. Gempa memicu tsunami raksasa, yang tingginya mencapai 40 meter. Gelombang gergasi kemudian menerjang daratan yang berjarak 10 km dari bibir pantai.

Gempa Besar Tohoku (Great Tohoku Earthquake) tersebut menyebabkan hampir 20 ribu orang tewas atau hilang. Sementara itu, wilayah Hokkaido sudah lama tak diterjang gempa dahsyat. Menurut perkiraan panel tersebut, lindu raksasa di daerah itu biasanya terjadi dengan siklus 340-380 tahun.

Ilmuwan mengatakan, gempa raksasa terakhir terjadi 400 tahun lalu. Kala itu, tsunami dengan ketinggian 20 meter muncul setelahnya, menerjang daratan hingga 4 kilometer jauhnya.

Laporan tersebut juga mengetengahkan prediksi gempa di sejumlah wilayah lain. Misalnya, guncangan dengan kekuatan antara 7,8 hingga 8,5 SR diperkirakan akan terjadi di Nemuro. Peluangnya relatif tinggi, yakni 70 persen. Kepulauan Kuril, khususnya di Shikotan dan Etorofu, memiliki peluang hingga 60 persen untuk diguncang gempa dahsyat.

2018 Tahun Gempa di Indonesia

Beberapa ilmuwan memperkirakan akan adanya gelombang gempa di tahun 2018 yang dianggap cukup mengkhawatirkan.

Sebagaimana TribunJogja.com kutip dari Time, wilayah yang diperkirakan paling berpotensi adalah di daerah ekuator, berada dalam garis lintang 30º utara atau selatan.

Berdasarkan hasil studi yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan Geological Society of America di Seattle dan dipublikasikan di Geophysical Research Letters, wilayah Indonesia akan terdampak bila prediksi itu benar adanya.

Seperti diketahui, wilayah astronomi Indonesia berada di 6o LU (Lintang Utara) – 11o LS (Lintang Selatan) dan 95o BT (Bujur Timur) – 141o BT (Bujur Timur). Penyebab gempa yang diperkirakan akan lebih banyak itu adalah karena rotasi bumi yang lambat.

Ahli geologi Roger Bilham dari Universitas Colorado, Boulder, dan Rebecca Bendick dari University of Montana, melacak kejadian gempa berkekuatan 7 SR atau lebih besar di seluruh dunia, sejak tahun 1900.

Berdasarkan catatan mereka, di kebanyakan tahun ada rata-rata 15 guncangan besar, dengan interval jarak yang merata dalam 117 tahun terakhir, di mana total guncangan tahunan melompat antara tahun ke-25 dan 30.

Sampel lebih dari satu abad dari planet Bumi yang berusia lebih dari 4 miliar tahun memang bukan sampel waktu yang representatif. Namun Bilham dan Bendick melihat hal lain tentang periode rawan gempa yang mudah berubah ini. Mereka tampaknya mengikuti pelambatan periodik dalam kecepatan rotasi bumi.

Kepadatan Bumi jauh berkurang dari yang terlihat, yakni inti luarnya yang memiliki ketebalan sekitar 1.200 mil (2.200 km) dan sebagian besar terdiri dari besi cair dan nikel. Cairan besi dan nikel itu cenderung mengendap, diduga terjadi dari waktu ke waktu, karena gerakan maju mundur dalam siklus yang berulang. Gerakan di dalam Bumi pun sedikit mengubah kecepatan putaran planet ini, sehari sekitar satu milidetik, menambah atau mengurangi dari 24 jam. Perubahan secara teratur ini dicatat oleh jam atom.

Ketika terjadi perlambatan, inti lelehan terus mengalami ketegangan di luar, mematuhi hukum dasar Newton bahwa benda bergerak akan berusaha sekuat tenaga agar tetap bergerak. Tekanan itu perlahan menyebar melalui bebatuan dan lempengan, serta mempengaruhi apa yang ada di atasnya.

Bilham dan Bendick menghitung, dibutuhkan lima sampai enam tahun untuk energi yang dikirim oleh inti, untuk memancarkan ke lapisan atas planet di mana terjadi gempa. Itu berarti, setelah jam atom menunjukkan perlambatan lima sampai enam tahun dari sebelumnya, akan lebih baik untuk melakukan upaya antisipasi.

(Sumber: The New York Times/US Geological Survey ShakeMap)

Ilmuan Dunia Terkejut  

Para ilmuwan menyatakan bahwa mereka terkejut dengan ukuran tsunami yang menghancurkan kota Palu di Indonesia pada hari Jumat (28/9).

“Kami telah memperkirakan gempa ini bisa menyebabkan tsunami, namun kami tidak mengira akan sebesar itu,” kata Jason Patton, seorang ahli geofisika yang bekerja di perusahaan konsultan, Temblor, dan mengajar di Humboldt State University di California.

Namun dia menambahkan, “Ketika kejadian seperti ini terjadi kita lebih cenderung menemukan hal-hal yang belum pernah kita amati sebelumnya.”

Gempa berkekuatan 7,5 SR tersebut, yang melanda pada sore hari, berpusat di sepanjang pantai pulau Sulawesi sekitar 50 mil sebelah utara Palu. Tak lama setelah itu—dalam 30 menit menurut beberapa pengakuan—gelombang setinggi 5 meter melanda daratan menuju ke kota, menghancurkan bangunan, menghancurkan kendaraan dan menewaskan ratusan orang. Jumlah korban yang tinggi juga dapat mencerminkan kurang canggihnya sistem Indonesia untuk mendeteksi dan memberi peringatan tsunami, kata ahli tsunami.

Daerah lain di Sulawesi, termasuk kota Donggala, juga dilanda tsunami, meskipun masih ada beberapa rincian tentang kerusakan atau korban tewas di luar Palu. Bencana tsunami seringkali merupakan hasil dari apa yang disebut gempa bumi megathrust, ketika sebagian besar dari kerak Bumi berubah bentuk, bergerak secara vertikal di sepanjang patahan. Hal ini tiba-tiba menggerakkan sejumlah besar air, menciptakan gelombang yang dapat melaju dengan kecepatan tinggi melintasi cekungan samudera dan menyebabkan kehancuran ribuan kilometer dari pusat gempa.

Tsunami Indonesia tahun 2004, dengan gelombang setinggi 30 meter dan menewaskan hampir seperempat juta orang, dari Indonesia hingga Afrika Selatan, dihasilkan dari gempa megasthrust berkekuatan berkekuatan 9.1 SR di Sumatera.

Sebaliknya, patahan yang pecah pada hari Jumat (28/9) merupakan patahan strike-slip, di mana gerakan lapisan bumi sebagian besar terjadi secara horizontal. Gerakan semacam itu biasanya tidak akan bisa menciptakan tsunami.

Tetapi dalam kondisi tertentu, bisa, kata Dr. Patton. Patahan strike-slip mungkin terjadi dengan sejumlah gerakan vertikal yang dapat menggerakkan air laut. Atau zona putusnya patahan, yang dalam hal ini diperkirakan panjangnya sekitar 27 kilometer, mungkin melewati daerah di mana dasar laut naik atau menurun, sehingga ketika patahan bergerak selama gempa, itu akan mendorong air laut di depannya.

Kemungkinan lain adalah bahwa tsunami terjadi secara tidak langsung. Guncangan keras selama gempa mungkin telah menyebabkan longsor di bawah laut yang akan menciptakan gelombang. Kejadian seperti itu memang tidak biasa; terjadi pada gempa dengan kekuatan 9,64 SR di Alaska tahun 1964, contohnya.

Dr. Patton mengatakan kombinasi dari beberapa faktor mungkin telah berkontribusi pada tsunami ini. Studi tentang dasar laut akan sangat penting untuk dilakukan demi memahami peristiwa tersebut. “Kami tidak akan tahu apa yang menyebabkannya sampai studi itu selesai,” katanya.

Tsunami juga bisa terjadi karena lokasi Palu berada di ujung teluk sempit. Garis pantai dan kontur dasar teluk bisa memfokuskan energi gelombang dan mengarahkannya ke teluk, meningkatkan tinggi gelombang saat mendekati pantai.

Efek semacam itu juga pernah terjadi sebelumnya. Di Crescent City, California, telah terjadi lebih dari 30 tsunami, salah satunya terjadi setelah gempa Alaska tahun 1964 dan menewaskan 11 orang. Tsunami itu terjadi karena kontur dasar laut di wilayah tersebut dan topografi dan lokasi kota.

Apa pun asal-usul gelombang, gempa berkekuatan 7,5 SR ini tidak diperkirakan akan menciptakan suatu fenomena di lautan luas, tetapi lebih merupakan fenomena yang terlokalisasi, seperti yang terjadi pada hari Jumat (28/9).

Indonesia saat ini hanya menggunakan seismograf, perangkat sistem penentuan posisi global dan alat pengukur pasang untuk mendeteksi tsunami, yang memiliki efektivitas terbatas, kata Louise Comfort, seorang profesor di sekolah pascasarjana University of Pittsburgh. Dia terlibat dalam proyek pembuatan sensor tsunami baru untuk Indonesia.

Di Amerika Serikat, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional memiliki jaringan canggih dengan 39 sensor di dasar samudra yang dapat mendeteksi perubahan tekanan yang sangat kecil yang menunjukkan jalannya tsunami. Data kemudian diteruskan melalui satelit dan dianalisis, dan peringatan dikeluarkan jika diperlukan.

Dr. Comfort mengatakan bahwa Indonesia memiliki jaringan yang sama, dengan 22 sensor, tetapi jarigan itu tidak lagi digunakan karena tidak terpelihara atau telah dirusak.

Proyek yang sedang dikerjakannya akan menciptakan sistem baru untuk Indonesia, yang akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan pelampung permukaan yang dapat dirusak atau ditabrak kapal.

Dr. Comfort mengatakan dia telah mendiskusikan proyek ini dengan tiga lembaga pemerintah Indonesia. Rencana untuk memasang prototipe sistem di Sumatera bagian barat ditunda bulan ini. “Mereka tidak bisa menemukan cara untuk bekerja sama,” katanya.

“Ini memprihatinkan jika kalian tahu teknologi yang ada di sana,” tambahnya. “Terlebih lagi, Indonesia berada di jalur Cincin Api—tsunami pasti akan terjadi lagi.”

Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang pantai utara Pulau Sulawesi pada 28 September 2018 menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Nyaris seluruh rumah yang berada di Palu rata dengan tanah karena terdampak serangkaian gelombang tsunami, yang juga menghancurkan garis pantai.

Aliran lumpur dan tanah menghancurkan beberapa daerah pinggiran di kota yang dihuni oleh (kurang lebih) 300.000 orang.

Foto yang diabadikan oleh satelit NASA, Landsat 8, terkait gambaran sebelum dan sesudah tsunami Palu. (Dokumentasi NASA)

Operational Land Imager (OLI) milik Landsat 8 (satelit observasi Bumi buatan Amerika yang dibangun oleh NASA dan Survei Geologi Amerika Serikat) menangkap gambar warna alam Palu pada 2 Oktober 2018.

Potret tersebut menampilkan perbedaan lanskap Palu sebelum dan sesudah tsunami. Gambar-gambar dengan warna semu membuat Landsat 8 mudah untuk membedakan antara daerah perkotaan (ungu-kelabu), vegetasi (hijau), dan area tanah menyembul (cokelat dan sawo matang).

Saat wilayah pesisir mengalami kerusakan berat karena tsunami, gambar yang diabadikan satelit NASA itu juga mengungkapkan tiga aliran lumpur besar yang menyebabkan kerusakan parah di daerah padat penduduk.

Getaran yang intens dari gempa bumi mungkin telah memicu pencairan dan penyebaran lateral, proses di mana pasir basah dan lumpur mengambil karakteristik cairan. Proses-proses ini, yang sangat umum terjadi di dekat sungaidan di tanah reklamasi, dapat menghasilkan lumpur yang sifatnya merusak, bahkan di daerah yang relatif datar. Para ilmuwan terkejut bahwa gempa bumi di Donggala bisa menyebabkan tsunami besar di Palu. Biasanya, tsunami besar terjadi setelah gempa bumi megathrust yang menyebabkan perpindahan vertikal. Tetapi gempa Sulawesi terjadi di sepanjang sesar yang datar, yang artinya perpindahan itu horisontal.

Beberapa ilmuwan NASA menduga bahwa tanah longsor yang terjadi di bawah laut, terguncang akibat gempa sehingga memberikan energi yang memicu tsunami. Selain itu, bentuk Teluk Palu yang sempit dan menyerupai jari tampaknya memperbesar gelombang air laut yang bergerak cepat dan membuatnya lebih berbahaya. (BB/DIO)

Artikel disadur dari berbagi sumber