Gempa Ambon,Malut dan Bali Beda Pemicu dan Makanisme
BERITABETA.COM, Jakarta – Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus melakukan monitoring gempa susulan di Ambon, Maluku Utara (Malut) dan Bali. Tiga daerah ini menjadi pusat perhatian BMKG, menyusul gempa berkekuatan Magnitude 7,1 yang terjadi di laut Maluku.
Hingga Sabtu, 16 November 2019 pukul 18.00 WIB, dari hasil monitoring BMKG menyebutkan, pasca gempa laut Maluku berkuatan Magnitude 7,1 menunjukkan telah terjadi 185 kali aktivitas gempa susulan (aftershocks) dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono di Jakarta, Sabtu (16/11/2019) menjelaskan, gempa di laut Maluku (Malut), Bali Utara, dan gempa Ambon meskipun memliki tipe yang sama. Sama-sama didahului oleh serangkaian gempa pendahuluan, akan tetapi memiliki perbedaan dalam hal sumber gempa dan mekanisme sumbernya.
Gempa laut Maluku lanjutnya, dipicu oleh adanya deformasi batuan dalam lempeng laut Maluku, gempa Bali dibangkitkan oleh sumber gempa sesar naik di Utara Bali, dan gempa Ambon terjadi akibat aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan sebelumnya.
Selain berbeda dalam sumber gempa, ketiga gempa tersebut juga berbeda dalam mekanisme sumbernya. Gempa Laut Maluku memiliki mekanisme sumber sesar naik (thrust fault), gempa Utara Bali memiliki mekanisme sumber kombinasi pergerakan dalam arah mendatar dan naik (oblique thrust), dan gempa Ambon memiliki mekanisme sesar geser.
“Setelah gempa Magnitude 7,1 di laut Maluku, gempa susulan dengan Magnitudo paling besar M=6,1 dan terkecil M=2,7. Gempa susulan dengan guncangan dirasakan terjadi sebanyak 10 kali, “kata Rahmat.
Menurutnya, gempa di Laut Maluku, memiliki tipe diawali gempa pendahuluan (foreshocks), kemudian terjadi gempa utama (main shock), selanjutnya diikuti oleh serangkaian aktivitas gempa susulan.
Sebelum terjadi gempa utama magnitude 7,1 pada 14 November 2019 pukul 23.17 WIB di sekitar lokasi episenter gempa utama telah terjadi dua kali aktivitas gempa pada 12 November 2011 pukul 15.11 WIB dengan magnitudo Magnitude 4,4 dan pada 13 November 2019 pukul 18.18 WIB dengan magnitudo Magnitude 3,4.
Aktivitas dua gempa ini diyakini sebagai gempa pendahuluan dari gempa laut Maluku. Sebelumnya, pada 14 November 2019 pukul 17.21 WIB wilayah utara Pulau Bali juga diguncang gempa Magnitude 5,0.
Update hingga Sabtu 16 November 2019 pukul 18.00 WIB tercatat sebanyak 100 kali gempa susulan, seperti halnya gempa laut Maluku, gempa Bali Utara ini juga didahului oleh gempa pendahuluan pada pukul 17.09 WIB dengan magnitudo Magnitude 4,4 dan pukul 17.10 WIB dengan magnitudo Magnitude 4,6.
Rahmat menjelaskan, sebelumnya Pulau Ambon dan sekitarnya juga diguncang gempa Magnitude 6,5 pada 26 September 2019.
Gempa ini sangat destruktif dan menimbulkan korban jiwa, hingga 16 November 2019 pukul 18.00 WIB, BMKG masih mencatat aktivitas gempa susulan hingga sebanyak 2.345 kali dengan magnitudo terbesar Magnitude 5,6 dan terkecil Magnitude 1.0.
Gempa Ambon Dirasakan 269 Kali
Adapun gempa susulan yang guncangannya dirasakan terjadi sebanyak 269 kali. Gempa Ambon juga didahului oleh serangkaian gempa pendahuluan. Sebelum terjadi gempa utama, BMKG mencatat rentetan gempa pendahuluan dengan magnitudo antara 1,5 – 3,5 sebanyak 30 kali sejak 28 Agustus 2019.
Gempa Laut Maluku memiliki mekanisme sumber sesar naik (thrust fault), gempa Utara Bali memiliki mekanisme sumber kombinasi pergerakan dalam arah mendatar dan naik (oblique thrust), dan gempa Ambon memiliki mekanisme sesar geser.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan bahwa gempa itu berpusat di Busur Sangihe dan Halmahera.
Zona gempa ini membentang dalam arah utara-selatan, didasari oleh zona subduksi ganda (double subduction). Zona ini menghunjam ke Pulau Halmahera di sebelah timur, dan ke bawah Busur Sangihe di sebelah barat.
“Zona subduksi ini membentuk kemiringan ganda yang tidak simetris. Slab Lempeng Laut Maluku di bawah Busur Sangihe menerus hingga di kedalaman 600 kilometer,” kata Daryono seperti dikutip CNNIndonesia.com, Sabtu (16/11/2019).
Daryono juga mengatakan slab lempeng di bawah Busur Halmahera relatif lebih dangkal hingga di kedalaman sekitar 300 kilometer. Subduksi ganda zona ini terbentuk akibat tekanan Lempeng laut Filipina dari timur, di zona Halmahera. Sementara dari Barat, Lempeng Sangihe relatif mendorong ke Timur.
Akibat dorongan ini terbangun akumulasi medan tegangan akibat gaya kompresi pada batuan kerak samudra di bagian tengah Zona Tumbukan Laut Maluku (Molucca Sea Collision Zone) (BB-DIO-DIP)