“King of Krakatoa”, Tukirin yang Membanggakan Indonesia
BERITABETA.COM – Gunung Anak Krakatau disebut sebagai pemicu naiknya air laut yang menghantam sejumlah daerah pesisir Selat Sunda. Sejumlah ahli kemudian angkat suara terkait musibah tsunami yang menewaskan ratusan orang itu.
Salah satu dari para ahli itu adalah Ahli Ekologi dan Evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Tukirin Partomihardjo. Tukirin telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya meneliti Krakatau.
Saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/12/2018), ia sependapat dengan yang dikemukakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil di Selat Sunda.
Sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau itu, menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.
Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.
“Saya punya pengalaman sedang di darat, di Gunung Anak Krakatau, kemudian terjadi getaran karena aktivitas vulkanik, getaran saja. Itu dinding Anak Krakatau yang setinggi 400 meter itu longsor, sampai ke laut. Tapi tidak menimbulkan tsunami, karena itu kan di darat,” kata dia.
Kendati demikian, katanya, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh. Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.
Sosok Special
Siapa Tukirin? Tukirin Partomihardjo memang spesial. Namanya selalu berkibar tiap kali kata Krakatau disebut. Bukan karena kesaktian, melainkan pengetahuannya yang pilih tanding. 35 tahun meneliti Krakatau adalah bukti, bila gunung berapi aktif tersebut adalah hidup mati Tukirin, yang hingga kini belum seorang pun mampu meneruskan pengembaraan ilmiahnya.
Krakatau yang merupakan gugusan pulau penuh makna, membentang kokoh di Selat Sunda. Ada Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau yang namanya begitu masyur. Statusnya, cagar alam seluas 13.605 hektare. Ada tumbuhan biji, jenis paku dan lumut yang hidup, serta biawak dan burung yang mudah terlihat.
Dahulu, Krakatau merupakan gunung api purba setinggi tiga ribu meter, bergaris tengah sebelas kilometer. Krakatau Purba lenyap saat erupsi di zaman prasejarah yang kejadiannya tidak terekam umat manusia. Letusan hebatnya memunculkan tiga kepundan aktif: Danan, Perbuatan, dan Rakata yang selanjutnya menyatu. Berpadu, menjelma pulau memanjang.
26-27 Agustus 1883, letusan luar biasa kembali mengguncang yang kali ini menghancurkan puncak Danan dan Perbuatan, juga dua per tiga Rakata. Bencana alam yang diikuti gelombang tsunami dan awan panas ini menewaskan 36 ribu penduduk yang bermukim di pesisir Selat Sunda. Peristiwa besar yang akan selalu dikenang dalam kalender, 133 tahun silam.
Perkembangan selanjutnya, muncullah daratan yang diberi nama Anak Krakatau, tahun 1930. Daratan ini, sejak awal kelahirannya bertambah luas dan meninggi seirama detak vulkanis yang terjadi. Anak Krakatau ini yang sering kita sebut Gunung Krakatau.
Awal Mei 2016, adalah perjalanan ke dua saya bersama peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini ke Krakatau. Bagi Tukirin sendiri, ini adalah yang kesekian kalinya. Bila dihitung tiga setengah dasawarsa dedikasi keilmuannya untuk Krakatau, akan terjawab sebanyak itu pula perjalanan yang ia tempuh. Andai, ia lakukan sekali dalam setahun. Bosankah ia? “Tidak,” jawabnya mantab.
Menurut Tukirin, Krakatau memberinya informasi penting langsung dari alam. Misal, perkembangan awal terbentuknya hutan dan bagaimana tumbuhan datang yang bisa diketahui setiap kali ia bertandang.
Bidang pengetahuannya pada suksesi atau perkembangan vegetasi, menggambarkan jelas bagaimana beragam jenis tumbuhan yang ada di Krakatau, berkembang dan menghijaukan pulau itu. 1981, saat pertama kali ia datang, cemara laut (Casuarina) yang hidup hanya ada yang kecil dan sebagian besar. Kini, cemara yang berbadan besar itu tumbang, digantikan jenis ficus atau bangsa ara. Bagaimana bisa terjadi? Rahasia alam inilah yang terus ia gali.
Ada empat metode yang bisa menjelaskan bagaimana tumbuhan berlabuh di Krakatau. Melalui laut, angin, satwa, dan manusia. Tukirin mencontohkan, ficus yang tumbuh di Anak Krakatau kehadirannya disebarkan oleh binatang. Ketapang (Terminalia catappa) yang berkembang di pantai dipastikan dibawa air laut, sementara ketapang yang tumbuh di bagian dalam pulau diterbangkan kelelawar.
“Sekiranya terjadi letusan, dinamika perkembangan suksesi dapat diteliti lebih rinci. Kesempurnaan penelitian bisa diketahui dari awal, mulai jenis tumbuhan pionir yang muncul hingga peran penting mikroorganisme,” ujarnya.
Lelahkah Tukirin meneliti Krakatau? Di usianya yang kini menginjak 64 tahun, tanda-tanda letih pada tubuhnya tidak tampak, terlebih untuk mendaki Krakatau. Andai ia pensiun dari tempatnya bertugas tahun depan pun, ia masih terlalu gagah untuk menyandang predikat tersebut.
Perjalanan saya yang pertama, April 2015, dan yang kedua ini, memperteguh keyakinan saya bahwa Tukirin memang berjodoh untuk menelisik dan menapaki Krakatau yang terus tumbuh. Ada dua puncak yang siap ditaklukkan. Puncak pertama setinggi 150 meter, dan puncak kedua sekitar 450 meter lebih dengan garis tengah kurang lebih tiga kilometer.
“Bila ada yang menemani, saya bersedia mendaki puncak kedua Krakatau. Butuh teknik khusus melakukannya. Harus cepat dan sigap. Selain suhu permukaan mencapai 50 derajat Celcius dengan hamparan batuan terjal dan pasir panas, Krakatau pun siap meletus setiap waktu,” ujar profesor enerjik ini.
King of Krakatoa
Malam itu, di pantai Anak Krakatau, Tukirin membuka rahasia yang selama ini jarang ia ceritakan. “King of Krakatoa” julukan maut yang menggema ke seantero dunia, tanpa pernah sekalipun ia deklarasikan. “Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk saling menghormati,” ujarnya merendah.
Memorinya melayang, jauh ke era 90-an. Berawal dari seorang mahasiswa asal Jepang yang membenci sang dosen. Nyatanya, dosen tersebut, Prof. Yukawa (Presiden Asosiasi Entomologi Dunia), adalah sosok disiplin pembimbing Tukirin saat menyelesaikan studi doktoralnya di Kagoshima University, 1992-1995. Tiap kali menjelaskan suksesi, Yukawa selalu bercerita tentang Krakatau yang menukik pada sosok Tukirin. “I have a very strong man, student from Indonesia,” jelas Yukawa yang diulang Tukirin.
Kenapa Tukirin didapuk sebagai orang kuat? Karena hanya dirinya yang mampu menaklukkan puncak Krakatau bersama Prof. Suzuki yang merupakan atlet lari nasional Jepang di masa itu. Alasan inilah yang menyebabkan Tukirin dianggap orang yang secara fisik memiliki kekuatan luar biasa.
Suatu waktu, Tukirin diundang Yukawa ke Jepang. Dalam acara perkenalan dengan para mahasiswa itulah mahasiswa yang tidak senang pada Yukawa menghampiri Tukirin untuk adu pancho, mengingat predikat Tukirin sebagai lelaki kuat, sebagaimana yang dijelaskan Yukawa.
Tukirin terhenyak, di hadapannya telah berdiri mahasiswa berbadan atletis, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kurus. “Kalau saya kalah tak masalah, tapi kalau Anda kalah pastinya malu dihadapan mahasiswi. Saya nantikan di Indonesia,” ujar Tukirin berkelit.
Dilalah, proposal penelitian mahasiswa penantang yang mengajukan penelitian di Indonesia itu diterima. Saat bertemu di Bali, lagi-lagi Tukirin ditantang untuk pancho. Tukirin cari akal, ia mengajak mahasiswa tersebut untuk menyelesaikan masalah tersebut secara jantan di Krakatau. Harapannya, mahasiswa ini mundur teratur.
Nyatanya, si mahasiswa justru menemui Tukirin di Pulau Rakata, sekembalinya ia dari Jepang. “Saya orang tua kecil, kurus, harus menghadapi anak muda berotot. Cara ilmiah harus dicari untuk mengalahkannya yang menang secara fisik.”
Sebagai “Raja Krakatau” Tukirin mengajak mahasiswa itu bertarung di puncak Rakata, habis-habisan. “Pakai sepatu, bawa air minum yang banyak, dan pastikan tidak ada yang tahu,” pesan Tukirin pada lelaki muda itu sebagai sarat utama.
Jam 6.00 WIB pagi, mereka mendaki. Tukirin yang badannya kecil, dengan cepat berlari dan menghilang di rimbunnya hutan. Sementara si mahasiswa itu, kebingungan karena tidak tahu arah. Di atas tebing curam, Tukirin yang sudah mendaki lebih dulu menanti mahasiswa itu untuk naik.
Di sini banyak semilak, tumbuhan berduri yang harus dipegang akarnya untuk merambat. Sang mahasiswa, yang tak ingin malu ikut naik tebing itu, namun duri di semilak tersebut ia pegang yang membuat tangannya luka.
Berikutnya, mereka menuju punggung bukit kecil yang hanya bisa dilewati menggunakan sepatu lapangan ala militer, bukan sepatu kets. Di sini, Tukirin yang sudah mempersiapkan diri sedari awal, dengan mudah melewati medan itu, sementara si penantang tubuhnya penuh luka akibat duri dan pasir yang tajam.
Di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (m dpl), mereka harus melewatinya dengan cara memanjat, melewati tebing menggunakan tali. Hingga akhirnya, mereka tiba di puncak Rakata, di ketinggian 800 m dpl, sekitar enam jam jalan kaki dengan susah payah.
Di sini, Tukirin mengajak si mahasiswa untuk pancho. Apa yang terjadi? Mahasiswa tersebut mengurungkan niatnya karena ia “shock” melewati rintangan mengerikan yang belum pernah ia rasakan. Di puncak Rakata, ia mengaku kalah, tanpa harus bertarung.
Puas istirahat, mereka kembali ke kemah. Tukirin meminta agar mereka tidak bersamaan menuju tenda, sebagaimana persyaratan di awal. Tukirin pun pulang lebih awal. Baru saja ia minum teh di depan tenda, sang mahasiswa yang baru saja keluar dari hutan tersebut, berteriak lantang: “Tukirin, you are the real king of krakatoa, sembari menyembah Tukirin.”
Dari sini, julukan Tukirin sebagai “King of Krakatoa” menyebar dan sang mahasiswa itu pula yang mempopulerkannya. Tahun berapa pastinya, Tukirin tidak ingat, diperkirakan di penghujung 1999. Begitu juga dengan nama sang mahasiswa yang hingga kini masih ia samarkan. “Bukan kekuatan, julukan king of krakatoa lebih tepat untuk menggambarkan pengalaman dan pengetahuan saja yang saya dapatkan dari menjelajah setiap lekuk Krakatau,” terang Tukirin.
Krakatau memang identik Tukirin, dan dunia mengakui. Para peneliti dari berbagai belahan bumi, berlomba menghubungi Tukirin, berharap didampingi saat penelitian nanti. Bagaimana Indonesia? “Krakatau adalah penelitian science for science yang tidak populer didanai pemerintah. Jarang peneliti yang tertarik.”
Kekhawatiran Tukirin adalah kegelisahan kita semua. Kegalauan di masa mendatang, bila kita harus bertandang ke negeri orang hanya untuk mengetahui perihal Krakatau yang justru wujudnya ada di Indonesia. Banggalah kita pada Tukirin. Ada wajah Indonesia dalam sosoknya. (***)