Kisah Dua Veteran Eks KNIL Asal Maluku
Yulius Sofacua Tanpa Makam dan Mezach Pattikawa yang Terlupakan
BERITABETA.COM – Pasca Perang Dunia II prajurit het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) terpecah menjadi dua. Ada yang memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ada pula yang kembali ke Belanda untuk melanjutkan tugas dan jabatannya.
Dari sekian tentara KNIL asal Maluku, ada dua prajurit yang punya kisah berbeda. Mereka adalah Yulias Sopacua yang memilih bergabung ke pasukan Aman Dimot di Aceh Tengah dan berjuang membelah NKRI dan Mezach Pattikawa eks tentara KNIL asal Maluku yang memilih bergabung ke Belanda.
Suatu saat ketika Gubernur Aceh Zaini Abdullah, menggelar temu ramah dengan keluarga veteran, pejuang dan perintis daerah Aceh, 17 Agustus tahun 2015 silam.
Di sana, Aceh Tengah mengirimkan pejuang non Gayo yang notabene berperang bersama pejuang Gayo di Medan Area, Yulias Sopacua, eks Tentara (KNIL), yakni tentara yang melayani pemerintah Hindia-Belanda dari Ambon.
Yulias Sopacua yang berdarah Ambon itu bergabung ke pasukan Aman Dimot setelah lari dari pasukan “KNIL”, dan tidak mudah, meninggalkan KNIL juga membuat Yulias menjadi buronan. Namun sebagai orang Indonesia, ia memilih membela Indonesia lebih penting, dan akhirnya singah dipasukan Aman Dimot untuk turut berperang bersama di Medan Area.
Kedekatannya dengan Aman Dimot berikut pasukannya, bukan hanya dalam waktu singkat. Yulius Sopacua rupanya sudah menyatu dengan masyarakat Gayo sebelum bergabung bersama pasukan Aman Dimot, dan sakin dekatnya Yulius lantas diberi nama “Ring Waring”, nama khusus untuk Yulius.
Kedekatannya dengan masyarakat Gayo memang cukup fenomenal. Ke Takengon, Ring Waring sekaligus membawa istri bernama Mahdalena, perempuan berdarah Jawa-Bali. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian diberi nama Otto Sopacua.
Otto Sopaqua adalah seorang seniman musik yang ikut berkonstribusi besar dalam mengembangkan seni musik keroncong di dataran tinggi Gayo. Namanya identik dengan nama-nama seniman besar lainnya di Gayo seperti AR Moese dan Syech Kilang, namun Otto pria yang komit dijalur musik.
Cucu alamrhum Ring Waring, Darwin Sofacua yang datang mengantarkan ibunda Rosda, Istri almarhum Otto Sofacua, untuk memenuhi undangan Gubernur Aceh, mewakili Ring Waring. Ia mengatakan, Ring Waring tewas bersama Aman Dimot setelah sempat ditawan hingga akhirnya dieksekusi Belanda di Sumatera Utara.
Aman Dimot, pejuang Gayo yang juga ditawan tewas dieksekusi Belanda menggunakan peluru “granat”.
Mayat mereka semua kemudian dimakamkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Hingga di masa Orde Baru, makam-makam non Sumatera dibawa ke Pulau Jawa, dan masa itu sempat menimbulkan protes dari sanak keluarga, namun pemerintah tetap membawanya, sehingga makam mereka pun tidak diketahui lagi.
Untuk itu, Darwin dan keluarga sangat berharap kepada pemerintah Aceh untuk melacak kembali makam-makam pejuang tersebut. “Karena perjuangan mereka di Medan Area adalah sejarah besar orang Gayo dalam mempertahankan republik Indonesia,” katanya.
Katanya, peninggalan Ring Waring yang paling banyak adalah foto-foto ketika berada di Takengon, termasuk ketika bergabung bersama pasukan Aman Dimot di Aceh Tengah.
Dilupakan Kerajaan Belanda
Lain cerita Sopacua, lain pula cerita Mezach Pattikawa. Eks tentara KNIL asal Maluku yang menetap di Belanda ini, tidak pernah diberikan penghargaan oleh pemerintah Belanda.
Cucunya Jeftha Pattikawa menulis sebuah surat berbahasa Belanda yang dikutip dari javapost.nl, pada Senin 25 Desember 2017, berisikan tentang sebuah upaya cucu untuk ‘menghibur’ agar sang kakek melupakan medali dan pengakuan dari Kerajaan Belanda.
Pattikawa tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda. Medali dan penghormatan oleh Menteri Pertahanan Belanda Inspektur Jenderal Angkatan Bersenjata Hans van Griensven harusnya juga diberikan kepada Mezach Pattikawa atas jasa yang sudah dilakukan.
Jeftha juga menceritakan kisah perjalanan hidup Mezach yang meninggalkan Maluku demi KNIL dan menetap di Belanda hingga akhir hayatnya. Berikut isi surat Jeftha tersebut:
Kakek yang terhormat,
Kamu pasti tidak percaya ini. Saya membaca berita minggu lalu bahwa tentara KNIL Ambon terakhir yang masih hidup menerima penghormatan dan status veteran dari Kementerian Pertahanan dan medali yang menjadi hak mereka. Saya bertanya-tanya apakah itu pesan dari tahun lima puluhan karena NOS, yang membicarakan tentang ‘orang Ambon’. Apakah saya melewatkan sesuatu? Di artikel tersebut saya sedang berada pada tanggal 30 Oktober 2017. Hampir 70 tahun setelah Anda tiba di Belanda. Saya bertanya-tanya apakah ada tentara KNIL Maluku yang hidup sama sekali.
Kakek pernah mengatakan kepada saya bagaimana bisa sampai di sini untuk bertugas dan menunjukkan surat pemecatan di tangan kakek. Bagaimana kakek bersama keluarga ditempatkan di sebuah kamp konsentrasi kosong dan tidak menerima gaji apapun, apalagi pensiun seorang veteran.
Ini pekerjaan menjadi sulit bagi kakek, karena selain tiga gulden pence per minggu yang diterima dari negara bagian, kakek dipaksa untuk mendapatkan penghasilan dari seorang petani blueberry. Padahal kakek berjuang banyak perang untuk Belanda untuk melindungi koloni tersebut.
Kakek juga mengatakan kepada saya bagaimana harus memindahkan kerikil pada lutut telanjang sebagai hukuman di kamp pengasingan Jepang dengan seberkas sinar di bahumu. Atau terpaksa berjalan di atas tricolor dan meludahi citra ratu. Jelas, ini berbalik dari kesetiaan kakek yang mendalam kepada kerajaan Belanda. Anehnya, kerajaan yang sama mengabaikan kakek di sini selama bertahun-tahun. Mereka meninggalkan kakek dalam kedinginan dan tidak melihatnya.
Jika Kementerian Pertahanan telah mengambil tanggung jawab pada saat itu, maka kemungkinan besar kakek akan menjadi guru matematika atau pemusik, seperti yang pernah kakek katakan kepada saya. Mozart Maluku yang pertama. Apakah kakek ingin menggantungkan pakaian tentara di pohon willow?
Waktu yang pudar dan keadaan yang tidak menguntungkan membuat kakek selamanya menjadi pahlawan perang yang terlupakan, tanpa pengakuan, jauh dari rumah. Betapa sialnya.
Di tempat barak kita sekarang bertingkat rumah dengan monumen di sudut jalan. Saya sendiri tidak lagi tinggal di lingkungan itu, tapi tetap suci bagi saya karena ini adalah tempat di mana kakek berhasil membangun eksistensi yang bermartabat dan terhormat meskipun semuanya ada. Terima kasih untuk waktu yang kakek berikan. Dan lupakan medali itu. Kita tahu lebih baik kan?
Jeftha Pattikawa adalah seorang penulis dan pembuat film Amsterdam, lahir di sebuah kamp barak Molucca di Gelderland. Dia adalah cucu dari dua tentara KNIL Maluku. Kini, Pattikawa sedang mengerjakan proyek film Lost Tyre , tentang pemuda Maluku dari akhir tahun tujuh puluhan sampai awal tahun sembilan puluhan.(***)
Berbagai sumber