Catatan : Ajeng Arainikasih (Sejarawan)

Ketika pertama kali saya pindah ke Belanda, saya cukup shock dengan kuliner Indonesia di Belanda. Bukan hanya banyak tersebar rumah makan Indonesia, tapi makanannya memang ala Indonesia!

Setiap malam saya bebas memilih mau delivery (atau take away) makanan apa: soto, sate, rendang, tumis buncis, atau lontong dan opor ayam? 

Di supermarket Belanda (bahkan yang bukan Chinese supermarket) segala jenis sambal dan kerupuk juga ada. Mau beli bihun, nasi goreng, bumbu sate atau bumbu babi kecap, ada semua! Bahkan Chinese food di Belanda rasanya sama dengan Chinese food yang biasa saya makan di Indonesia. 

Teman saya yang betul-betul berasal dari Cina bahkan tidak mengenali menu-menu di Chinese restaurant. Saya jadi membandingkan, dahulu, ketika saya tinggal di Australia, makanan Indonesianya tidak seperti di Belanda. Padahal secara geografis Indonesia dan Australia lebih dekat letaknya daripada Belanda. 

Pertanyaan saya terjawab ketika saya berkunjung ke museum-museum di Belanda dan membaca banyak tulisan mengenai postcolonial immigrant di Belanda. Ternyata, ada bagian dari sejarah yang rasanya tidak pernah saya pelajari di Indonesia. 

Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda di akhir tahun 1949 menyebabkan hubungan politik antara Indonesia-Belanda memburuk. Perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi. 

 

Salah satu sudut display di Dutch Resistance Museum mengenai pendudukan Jepang di Indonesia | dokpri

Hal tersebut menyebabkan orang-orang yang diasosiasikan dengan Belanda menjadi "tidak diinginkan" untuk berada di Indonesia. Efeknya, antara tahun 1950-1963, ada sekitar 200.000 - 300.000 orang Indo-Eropa (Indisch) dan 7.000 Peranakan Cina-Indonesia yang "dipulangkan" ke Belanda sebagai postcolonial immigrant.