Di Belanda mereka disebut dengan "repatriates" padahal, sebagian besar dari mereka belum pernah ke Belanda sebelumnya. Namun, di Belanda mereka juga "ditekan". Mereka "dipaksa" untuk beradaptasi dan "dididik" untuk betul-betul menjadi orang Belanda, serta melupakan identitas ke-Indonesia-an mereka. Mereka menjadi silent generation. 

Memori dan kisah buruk mereka saat mengalami Perang Dunia II di bawah pendudukan Jepang di Indonesia serta peristiwa Revolusi tahun 1945-1949 "dibungkam" dan tidak didengar, hanya disimpan menjadi "rahasia keluarga". Namun, ternyata selera makanan tidak bisa diubah ya. 

Sejak tahun 1990-an situasi politik di Belanda berubah. Pemerintah Belanda mulai terbuka untuk mendengarkan sejarah dari berbagai versi mengenai komunitas yang berbeda. Mereka juga sudah mulai terbuka terhadap sejarah kelam mereka sendiri. 

Kini, generasi anak-cucu para postcolonial immigrant menjadikan identitas Indisch sebagai gaya hidup tersendiri. Bahkan, Indisch culinary (seperti yang saya ceritakan di atas) sudah dinobatkan menjadi warisan intangible Belanda.    

Tetapi, bukan hanya orang Indo yang pada saat itu "dipulangkan" ke Belanda. Kala itu (antara tahun 1950-1963) juga ada sekitar 12.500 orang Maluku yang merupakan mantan tentara KNIL (dan keluarganya) yang "dikirim pulang" ke Belanda. Kebanyakan dari mereka adalah mantan tentara KNIL (dari Maluku) yang ada di Jawa. 

 

Kisah tentang resistensi yang dilakukan oleh orang Maluku di Dutch Resistance Museum, Amsterdam | dokpri

Kebetulan, tahun 1950 di Maluku ada Republik Maluku Selatan (RMS) yang memproklamirkan kemerdekaannya dari Indonesia. Tentu saja pemerintah Indonesia melarang Belanda untuk membubarkan dan memulangkan mantan tentara KNIL mereka ke Maluku! Sehingga, tidak ada pilihan lagi selain "memulangkan" para mantan tentara KNIL tersebut ke Belanda. 

Namun, berbeda dengan orang Indo dan Peranakan Cina-Indonesia yang berasal dari kelas menengah atas (berpendidikan dan fasih berbahasa Belanda), komunitas Maluku ini tetap "Inlander". "Pribumi" yang tidak terlalu fasih berbahasa Belanda dan tidak terlalu berpendidikan, walaupun beragama Nasrani. 

Di Belanda, mereka tidak pernah disebut sebagai "repatriates" tetapi dianggap sebagai tamu sementara. Harapannya, saat kondisi sudah lebih memungkinkan, mereka akan dipulangkan kembali ke Maluku, tepatnya ke RMS.

Ketika tiba di Belanda pun mereka ditempatkan di bekas camp internir yang terisolasi dari penduduk Belanda lainnya. Berbeda dari komunitas Indo yang dipaksa beradaptasi menjadi Belanda, komunitas Maluku dianggap tidak mungkin bisa menjadi "Belanda".