BERITABETA – SEMANGAT juang yang membakar pasukan “Pemuda Merah Putih” terus bergelora. Setelah mengambil alih kekuasaan Kantor Houfd Van Plastelyk Bestuur (HPB) yang dimpimpin G. Gaspers yang menjadi pusat kekuasaan Belanda di Kota Namlea. Adam Pattisahusiwa dan Abdulah Bin Thalib semakin percaya diri.

Semua strategis serangan berjalan dengan mulus termasuk menyandera semua pegawai Nederlandsch Indie Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).

Tanggal 8 April 1946, seakan menjadi hari kelam bagi penjajah di tanah Bupolo. Takluknya  G. Gaspers sebagai pimpinan tertinggi saat itu, membuat kekuatan “Pemuda Merah Putih” semakin terhimpun. Usai pengibaran Bendera Merah Putih di Kantor HPB, strategis penyerangan berikut terhadap sisa kekuatan Belanda pun disusun. Tepat pukul 11.00 WIT serangan “Pemuda Merah Putih” dilanjutkan.

Menyerang Pos Tentara KNIL di Pal 4

Pos tentara KNIL  yang berkedudukan di PAL-4 menjadi tugas pasukan yang dipimpin oleh Abdulah Bin Thalib alias Ami Do. Serangan ke pos itu dilakukan dengan menggunakan mobil truk hasil rampasan penyerangan Kantor HPB Pemerintah Belanda.

Abdulah Bin Thalib membawa pasukan sebanyak 30 orang.  “Pemuda Merah Putih” kali ini dibekali 8 pucuk senjata hasil rampasan dari tentara Belanda. Saat tiba di Pos Tentara KNIL di Pal-4, komandan pasukan berteriak dengan suara lantang “Merdeka” angkat tangan, menyerah atau mati.

Pimpinan Pos KNIL yang saat itu dijabat Telehala,  tidak menghiraukan perintah tersebut.  Dia lari meninggalkan pos dan saat itu pula ditembak oleh Abdulah Bin Thalib.  Telehala tewas di tempat.

Lima orang anak buah Telehala dibekuk pasukan “Pemuda Merah Putih” dan dibawa sebagai tawan perang ke kantor HPB yang saat itu berfungsi sebagai Markas Komando “Pemuda Merah Putih”.

6 Keputusan Strategi Perjuangan

Pada pukul 13.00 WIT masih di hari yang sama (8 April 1946), rapat kilat digelar  dan dipimpin langsung Adam Pattisahusiwa. Rapat berlangsung di kantor HPB sebagai markas. Rapat yang diikuti para komandan pasukan itu kemudian menetapkan 6 butir keputusan strategis.

Antaranya: 1. Memperkuat pertahanan di Kota Namlea untuk mengantisipasi serangan balasan dari musuh, baik dari dalam maupun dari luar; 2. “Pemuda Merah Putih” dilarang keluar dari Kota Namlea,  jika tidak diperintahkan, 3. Tawanan perang diberi makan setiap hari dan kepada tawanan tidak boleh berlaku kasar. Keamanan tawanan dan keluarga harus dijamin. 4. Bila ada musuh yang menyerang, semboyan “Merdeka atau Mati” harus tetap dipertahankan.

5. Bila musuh lebih kuat, mundur secara tertib dan terkoordinasi menuju Desa Siahoni sebagai basis pertahanan. Dan 6. setelah berkumpul di Desa Siahoni segera susun kekuatan dan melakukan serangan balik kepada musuh dengan teknik gerilya ke kota Namlea.

Peristiwa 9 Apri 1946

Dugaan Adam Pattisahusiwa terkait kemungkinan serangan balasan tentara KNIL, terbukti di tanggal 9 April 1946.   Watak penjajah yang sombong dan serakah, tetap tidak mau mengakui penyerahan kekuasaan dan kedaulatan.

Pukul 11.00 WIT,  sebuah kapal motor masuk ke teluk Namlea, kapal dari Kota Ambon itu membawa gerombolan tentara Belanda, berkekuatan satu pleton  bersenjata lengkap. Namun nasib apes menimpa pasukan KNIL itu. Kapal tersebut kandas pada batu karang sekitar 150 meter dari tepian pantai.

Pasukan “Pemuda Merah Putih” yang sudah menguasi Kota Namlea saat itu, lantas siap siaga menjemput pasukan tersebut. Turun dari kapal tiga orang serdadu KNIL.  Mereka merapat Jembatan Namlea dan disambut oleh seorang pemuda pemberani, bernama  Abdul Madjid Tan.

Abdul Madjid Tan ditanya oleh ketika serdadu itu. Tentang keberadaan G. Gaspers selaku pimpinan HPB. “Dimana Gaspers”? tanya salah satu dari ketiga orang itu. Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan tegas oleh Abdul “Yang bersangkutan ada di kantor,”

Ketika ketiga serdadu KNIL tersebut berjalan menuju Kantor HPB, tiba-tiba terdengar tembakan dari arah samping jembatan. Dorr… dan komandan KNIL tersebut jatuh tersungkur dan tewas ditempat.

Rupanya Abdulah Kabau yang ditunjuk sebagai eksekutor (sniper) berhasil menjalankan aksinya. Atas kerjasamanya dengan Abdul Madjid Tan,  dua serdadu anak buah dari komandan itu kemudian ditawan oleh “Pemuda Merah Putih sebagai tawanan perang.

Insiden penembakan itu kemudian memicu kontak senjata. Sejumlah pasukan yang ada di atas kapal baku tembak dengan “Pemuda Merah Putih” yang bersiaga di tepi pantai.

“Pemuda Merah Putih” dengan pekikan “merdeka” membalas serangan membabi buta  yang dilakukan tentara KNIL  dari atas kapal. Gerombolan tentara KNIL  akhirnya melarikan diri dari Pelabuhan Namlea menuju Kota Ambon.

Peristiwa 10 April 1946

Pasca pertempuran itu, Tentara KNIL belum mau menyerah.  Tanggal 10 April 1946,  pada pukul 02.00 WIT siang,  mereka kembali datang ke Kota Namlea dengan dua buah kapal. Satu  diantaranya adalah kapal perang.

Aksi invasi tentara KNIL ke jantung Kota Namlea dilakukan dengan penembakan gencar. Dari atas kapal, tentara KNIL melancarkan serangan tembakan tanpa henti. “Pemuda Merah Putih” pimpinan Adam Pattisahusiwa tetap bertahan dan membalas serangan. Pertempuran sengit dan heroik terus dilakukan pasukan “Pemuda Merah Putih” untuk mengusir gerombolan tentara KNIL  Belanda dari tanah Bupolo.

Dalam tempo tempo 2 jam serangan berlangsung. Dengan pertimbangan keterbatasan amunisi dan persenjataan yang belum lengkap, para komandan pasukan “Pemuda Merah Putih” kemudian memberi komando, agar pasukan mundur dan bergerak ke basis pertahanan baru di Desa Siahoni, sesuai hasil kesepakatan rapat.

Perjuangan para pemuda pemberani di bumi penghasil minyak kayu putih itu, berlangsung sampai akhirnya Belanda takluk kepada Pemerintah Republik Indonesi dan mengakui Kemerdekaan 1945.

Ironisnya, sejarah perjuagan dan heroisme pemuda Pulau Buru dengan pasukan “Pemuda Merah Putih” pimpinan Adam Pattisahusiwa hingga kini belum juga menjadi perhatian negara. Cerita Adam Pattisahusiwa, Abdullah Bin Thalib dan sejumlah pemuda pejuang itu hanyalah riwayat sejarah belaka. Riwayat ini diwariskan dari generasi ke genarasi.

72 tahun sudah berlalu, dan kini Bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Pahlawan ke 73, yang jatuh pada tanggal 10 November 2018. Tapi janji atas janji akan penghargaan berupa gelar Pahlawan kepada pejuang Adam Pattisahusiwa Cs, belum juga terwujud.

“Kami tidak pernah bermimpi mendapat sesuatu berupa imbalan dari negara. Tapi kami hanya ingin pemberian gelar itu, sebagai pengakuan nagera atas perjuangan pendahulu kami,” ungkap Tito Pattisahusiwa cucu dari pejuang Adam Pattisahusiwa. (Selesai)

(dhino pattisahusiwa). Sejarah perjuangan ini dioleh dari catatan Tan. M atas penuturan sejarah Talib Bin Thalib dan sumber lainnya.