Kisah Nakamura, 30 Tahun Bersembunyi di Hutan Morotai (Bagian-2)
Tarzan Nakamura Ditangkap dan Kembali ke Tanah Lelulur
BERITABETA.COM – Bergerak cepat, Soepardi memanggil kedua informan tadi untuk mengonfirmasi laporannya. Soepardi meminta keduanya membuktikan sekali lagi kebenaran laporannya, mengingat sudah satu tahun berlalu sejak mereka melihatnya.
Sebelum kembali berangkat ke hutan, Gayus dan Gonaga sempat bertemu dengan rombongan Jenderal (Pur) Kawashima, mantan komandan tentara Jepang di Morotai.
Kedatangan jenderal ini dalam rangka mencari dan mengumpulkan kerangka tentara Jepang yang gugur melawan Sekutu. Anehnya ketika Gayus menceritakan penemuannya, Kawashima menganggapnya ngoceh.
Kesaksian terakhir inilah yang dijadikan laporan oleh Soepardi begitu komandannya tiba dari Jakarta. Sebelum mengambil tindakan, komandan berkoordinasi dengan pejabat di Morotai, baik sipil dan militer.
Mengingat kebenaran laporan diragukan aparat lainnya, komandan hanya menerbitkan surat perintah melaksanakan operasi hanya kepada personel Lanud Morotai serta kepada Gayus dan Gonaga.
Maka terbitlah Surat Perintah Komandan Lanud Morotai NR: SPRIN/37/XII/74 tanggal 16 Desember 1974 tentang Pencarian, Penangkapan, Penyelidikan, dan membawa prajurit Jepang masa PD II yang bersembunyi di hutan ke Lanud Morotai.
Komandan mengamini susunan tim beranggotakan 11 orang yang diusulkan Soepardi, yaitu Lettu (KU) Soepardi AS, Serma A. Anthony, Serma W. Salibana, Serka Jahman, Sertu M. Najoan, Sertu A. Tamar, Serda Sulasdi, Koptu Ponto, M. Manjopo (PNS) serta Gayus dan Gonaga.
Tepatnya 17 Desember 1974 pukul 03.00 WIT, tim kecil ini berangkat ke pantai untuk menuju Kampung Pilowo. Sedikit rintangan menghambat, karena pagi itu air laut sedang surut cukup jauh dari pantai sehingga perahu motor yang digunakan kandas jauh dari laut.
“Untuk mengatasinya, dengan terpaksa kami gunakan perahu motor milik warga yang kebetulan ada di air,” kata Soepardi. Sekitar dua jam kemudian, mereka tiba di Kampung Pilowo.
Agar tidak mengusik ketenangan warga di pagi hari itu, tim berjalan sesenyap mungkin. Pukul 06.00, tim sampai di pinggir hutan dan menemukan tiga rumah penduduk yang dihuni pendatang Bugis. Di sini mereka beristirahat.
Tak lama setelah meninggakan kampung Bugis, perjalanan mulai terasa sulit. Semak belukar menghadang perjalanan, medannya naik turun dan melalui sungai yang tidak begitu lebar namun cukup dalam.
Anggota yang diserahi tugas membawa kamera mengalami gangguan, sehingga kamera yang dibawa terbenam air. Menjelang siang, setelah melewati perjalanan cukup berat, Soepardi kembali meminta tim beristirahat. Ia memilih sebuah batu sangat besar, yang oleh orang Morotai disebut Mesel-Mesel.
Sambil istirahat, kamera yang basah coba dibersihkan. “Kamipun berfoto di atas batu itu,” kenang Soepardi.
Setelah beristirahat dan memberikan motivasi kepada anggotanya, Soepardi kembali memimpin perjalanan yang semakin sulit. Medannya semakin perawan, ditambah banyaknya ditemukan ular baik di ranting pohon di atas kepala atau berseliweran di tanah.
Beberapa anggota terpaksa menggunakan golok untuk menebas ular-ular yang sedikit mengganggu, terutama ular berkaki empat yang sebetulnya adalah kadal ular (Lygosoma quadrupes).
Tantangan berikutnya adalah mendaki bukit berbatu dan licin oleh lumut dan air. Untuk kedua kalinya anggota yang membawa kamera kembali terpeleset sehingga kamera yang dibawanya terbentur batu dan kembali kemasukan air.
Apa boleh buat, sejak itu kameranya mati total. Perjalanan melewati medan naik turun membuat stamina anggota melorot. Lebih-lebih di ketinggian itu sudah tidak terlihat sumber air, sementara persediaan yang dibawa mulai menipis.
Anggota yang kehausan mencoba mendapatkan air dari akar pohon yang mencuat ke atas atau dari rotan yang dipotong. Soepardi memaklumi beberapa anggotanya yang sudah kelelahan, karena mereka bukan berasal dari korps pasukan yang sudah dibekali latihan berat.
Mereka adalah staf yang sehari-harinya melakukan pekerjaan kantor. Namun seberat apapun perjalanan pasti ada ujungnya. Akhirnya tim sampai di tempat tertinggi di Gunung Galoka dan langsung beristirahat. Jam di tangan menunjukkan pukul 16.00.
Setelah meneruskan perjalanan, sekitar pukul 17.05 mereka sampai di sebuah lembah yang tampak tenang, aman, dan tersembunyi. “Di tempat itulah kami berhenti untuk mengatur siasat, karena tempat itu sudah dekat dengan persembunyian Nakamura,” kata Soepardi.
Ia lalu memerintahkan empat orang mengintai sasaran. Dua jam kemudian keempat anggotanya kembali dan melaporkan bahwa target ada di sasaran. Soepardi memerintahkan, mulai saat itu tidak seorangpun boleh menyalakan api atau merokok dan berbicara dengan nada tinggi. Soepardi menekankan sekali lagi untuk menghindari konfrontasi dan dapat membawanya dengan selamat ke Lanud.
Timbul di pikirannya untuk menyanyikan lagu kebangsaan Jepang dan lagu angkatan perang Jepang. Ide ini ia sampaikan kepada tim. Ia tahu di antara anggota tim ada yang bisa berbahasa Jepang yaitu Serma Anthony dan yang lainnya juga bisa meski sepotong-sepotong.
Dengan tetap menjaga kerahasiaan, merekapun mulai berlatih vokal grup dadakan lagu-lagu Jepang. Lalu ia tunjuk tiga orang membawa bendera yaitu Merah Putih, bendera Jepang, dan bendera putih yang sudah disiapkan. Ketiga orang itu adalah Serma Anthony membawa Merah Putih, Serda Nayoan membawa bendera Jepang, dan Gayus membawa bendera putih.
Pukul 04.00, semua anggota sudah siap makan pagi. Pukul 05.00 melaksanakan apel pagi sekaligus dalam rangka pengecekan kelengkapan perorangan, khususnya senjata dan amunisi. Sebelum berangkat, mereka berdoa.
Kurang lebih dua jam perjalanan, tibalah mereka di sebuah ketinggian, sekitar 300 meter dari sasaran. Sambil menarik napas akibat pendakian, sebagai komandan tim Soepardi melihat dan mempelajari situasi di sekitar.
Pada saat itulah ia mendengar suara keras menyerupai babi hutan dan burung bersahutan. Setelah diperhatikan, suara tersebut bersumber dari seseorang tanpa busana sedang memotong bambu.
Rupanya ini taktiknya agar tidak diketahui orang lain bahwa ada orang sedang memotong benda, akan tetapi tersamar dengan suara-suara menyerupai binatang. Terlihat sekali orang misterius itu sudah sangat menyatu dengan alam, layaknya Tarzan di komik.
Setelah mengatur anggotanya menjadi tiga kelompok, tepat pukul 08.00, kelompok pertama mulai menyanyikan lagu Kimigayo. Dengan spontan, tangan kiri Nakamura langsung memegang kemaluannya karena telanjang, sedang tangan kanannya memegang parang dengan sikap sempurna, menghadap bendera yang dibawa kelompok pertama yang sedang menyanyikan lagu.
Selesai menyanyikan Kimigayo dilanjutkan lagu Mioto Okaino yang merupakan lagu angkatan perang Jepang. Belum selesai lagu dinyanyikan, orang itu kelihatan tegang dan menunjukkan sikap marah.
Sambil berlari kecil orang itu mengayunkan parangnya, berusaha menuju gubuknya. Kurang lebih lima meter dari gubuknya, semua pasukan serentak berteriak, “angkat tangan!”
Nakamura langsung mengambil sikap menyerang ke arah tim yang mengelilinginya. Serma Anthony yang paling dekat dengannya cepat memeluk, sedang yang lain merampas parangnya. Untuk menurunkan emosinya, mereka beramai-ramai mengangkatnya tinggi-tinggi dan diturunkan kembali, hal ini dilakukan berulang ulang.
Setelah melunak, Soepardi melalui penerjemah Serma Anthony, menanyakan namanya yang dijawabnya Nakamura. Kemudian ia menanyakan, apakah tentara Sekutu masih ada?
Anggota tim meyakinkan kepadanya bahwa tentara Sekutu sudah tidak ada, yang ada Indonesia Merdeka, sambil memperlihatkan foto Presiden Soeharto dan foto Jenderal Kawashina, bekas komandan Jepang di Morotai, yang sebulan sebelumnya berkunjung ke Morotai. Nakamura masih ingat, wajah di foto itu adalah bekas komandan kompinya semasa perang yang saat itu berpangkat mayor. Air matanya mengucur.
Soepardi kembali bertanya, apakah ia mempunyai senjata, yang dijawab punya, di dalam gubuk. Senjata itu kemudian diambil. Tim dibuat kagum karena senjata itu masih terawat dan berfungsi dengan baik. Larasnya sangat bersih, menandakan selalu dibersihkan dengan minyak babi hutan yang banyak tersimpan di dalam veldples. Ditemukan pula 18 butir peluru yang masih bagus.
Ketika anggota tim membawa senjata dan keluar dari gubuknya, wajah Nakamura mendidih. Ia marah tetapi tidak berdaya. Demi mendinginkan hatinya, Soepardi meminta anak buahnya menyanyikan lagu-lagu Jepang dan memberinya sebatang rokok.
Lambat laun ekspresi wajahnya melunak dan dengan suara lirih ikut menyanyikan lagu bersama tim, meskipun dengan bibir bergetar. “Kami kagum kepada Nakamura, karena kondisinya pada saat itu sangat sehat, rambutnya terpotong rapi, dan kulitnya kelihatan bersih,” ingat Soepardi.
Di samping lega dapat menangkapnya hidup-hidup tanpa perlawanan, dalam kondisi telanjang bulat, otomatis gerakan Nakamura tidak bebas. Maka salah seorang anggota tim rela membuka celananya dan memberikannya. Celana dipakainya, meskipun pemberi celana hanya memakai celana dalam. Ini membuktikan Nakamura masih normal.
Meskipun Nakamura kooperatif, Soepardi meminta anak buahnya untuk tidak mengendurkan kewaspadaan. Sebelum meninggalkan lokasi, Nakamura meminta kami memberi hormat kepada kebun dan gubuknya. Ketahanan fisiknya luar biasa, lebih-lebih saat rombongan menyusuri sungai dan mendaki bukit. Nakamura bahkan sering membantu anggota AURI yang kelelahan.
Pukul 20.30, rombongan tiba di sebuah kebun rakyat. Kebetulan pemilik kebun memiliki radio, dan kami berhasil menangkap gelombang radio Tokyo. Untuk pertama kali setelah 30 tahun, Nakamura mendengar siaran radio dari Negeri Matahari Terbit.
Menjelang tengah malam, Soepardi mengatur anggotanya untuk berjaga. Pada suatu saat, Nakamura tiba-tiba berteriak sambil menutup wajahnya terutama kedua matanya.
Ternyata ia tidak tahan sinar terang dari lampu di dalam gubuk. Sebaliknya dengan kondisi remang-remang, Soepardi justru curiga, apakah ini taktiknya untuk melarikan diri. Lepas tengah malam, Soepardi mencoba memeriksa Nakamura. Didapatinya bekas tentara Jepang itu tertidur pulas, mungkin lelah berjalan seharian.
Menjelang pukul 06.00 semua sudah bangun dan bersiap sarapan pagi. Soepardi meminta Nakamura mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah atas makan pagi yang disiapkan.
Setelah apel pagi dilanjutkan doa, semua berpamitan kepada tuan rumah. Tepat pukul 07.00, mereka meningggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan menuju Kampung Pilowo.
Dua jam perjalanan ke Pilowo, di tempat itu rombongan mendapat sambutan hangat dari penduduk. Mereka mengerumuni rombongan yang membawa Nakamura. Kepala kampung Pilowo bergegas menyiapkan motor tempel lengkap dengan perahunya. Ketika motor bergerak dan bendera Merah Putih dan Hinomaru mulai berkibar, Nakamura meminjam teropong Soepardi.
Ia gunakan untuk melihat gunung tempat ia bersembunyi, tempat ia hidup menyendiri tanpa wanita selama 30 tahun. Keharuan tersendiri atau lebih tepat puisi hidup di dalam jiwa prajurit Jepang itu. Perahu tiba di Daruba, ibu kota Kecamatan Morotai Selatan. Lebih banyak lagi warga menyaksikan kedatangan Nakamura.
Karena kamera yang dibawa rusak, Soepardi meminjam kamera salah seorang warga untuk meliput peristiwa itu sebagai dokumentasi. Tiba-tiba badan Nakamura berkeringat dan menjadi tegang.
Rupanya karena melihat banyaknya manusia, sesuatu yang tidak pernah ia alami selama puluhan tahun. “Ia memegang erat tangan saya seolah minta perlindungan.” Dari Daruba tim berjalan menuju Lanud Morotai.
Setibanya di Lanud, rombongan disambut komandan beserta staf yang selanjutnya berdoa atas suksesnya operasi. Komandan mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh tim atas keberhasilan yang diperoleh, sesuai perintah yang diberikan, yakni menangkap Nakamura dalam keadaan hidup.
Nakamura dibawa ke mess perwira. Ia masih diliputi rasa ketakutan adanya hukuman atau pembunuhan atas dirinya. Ia juga terlihat masih belum nyaman dengan banyaknya orang di sekitarnya.
Untuk sementara Nakamura tinggal di Morotai bersama keluarga Soepardi. Selama itu, Nakamura tidak mau tinggal diam. Ia selalu mencari kesibukan, antara lain mencabut rumput di halaman sampai bersih dan membelah kayu bakar.
Saat Soepardi melarangnya membelah kayu, Nakamura malah menjawab kalau tidak bekerja badannya sakit. Dengan keberadaan tamu asing, rumah Soepardi selalu ramai dikunjungi warga sekitar terutama ibu-ibu dan nona-nona. Serma Anthony selalu mendampingi sebagai penerjemah.
Untuk menunjukkan ia laki-laki normal, Nakamura menceritakan bahwa ia punya tunangan di Desa Sangowo bernama Hanifah, 30 tahun yang lalu.
Pada perayaan Natal, 25 Desember 1974, Nakamura dikunjungi para pemuda. Ia terlihat kikuk saat duduk di dekat para gadis.
Saat kunjungannya ke Morotai, KSAU Saleh Basarah dan Ketua G-I/Intel Hankam Mayjen Benny Moerdani menyatakan kekagumannya kepada anggota tim yang bisa menguasai diri dan menemukan Nakamura.
Meski kagum, Pak Benny tidak menutupi kekecewaannya karena momen yang sebaik itu tidak terdokumentasi dengan baik karena rusaknya kamera. Pak Benny lalu menghadiahkan sebuah kamera kepada komandan Lanud Mayor (Pas) Sutadji. Setelah melewati masa orientasi di Morotai, 29 Desember 1974, Nakamura diterbangkan ke Jakarta didampingi tim gabungan Pemerintah Indonesia dan Jepang. Tidak ketinggalan Soepardi.
Dari Lanud Halim Perdanakusuma, Nakamura dengan menumpang ambulan dibawa langsung ke Rumah Sakit Pelni di Petamburan, Jakarta untuk pemeriksaan kesehatan. Selama di rumah sakit, Nakamura didampingi dr. Ogura dari Jepang, seorang dari kementerian kesehatan Jepang, tim keamanan dari Dephankam, dan tentu saja Soepardi.
Selama di RS Pelni, keberadaan Nakamura menarik perhatian khususnya dari wanita. Para juru rawat banyak yang minta tanda tangannya. Di antara perawat, satu orang di antaranya menarik hati Nakamura. Namanya Emmy. Suster Emmy meminta tanda tangannya di buku hariannya. Nakamura menuliskan kata-kata mesra dalam huruf kanji.
Setelah diterjemahkan dr. Ogura, kurang lebih isinya: “tadi malam saya mimpi jalan-jalan dengan Emmy, kemudian saya mengucurkan air mata karena jatuh cinta”. Setelah dianggap sehat, mulai disiapkan proses pemulangan Nakamura ke Jepang. Namun pemerintah Jepang tidak bersedia menerimanya sebagai warga negara mengingat asalnya dari Taiwan.
Berdasarkan Perjanjian 1951 antara Jepang dan Taiwan, dinyatakan bahwa semua bekas warga negara Taiwan yang menjadi serdadu Jepang, akan dikembalikan ke Taiwan.
Kebetulan Nakamura ingin kembali ke tanah leluhurnya. Dengan keputusannya kembali ke Taiwan, Nakamura kemudian diberi paspor Taiwan dan berganti nama menjadi Lee Kwang Hwie.
Nakamura juga telah mendengar kabar bahwa isterinya di Taiwan yang bernama Li Lam Yung, telah menikah dengan Huang Chin Mou. Mereka menikah sepuluh tahun setelah tentara Jepang memberi tahu bahwa Nakamura hilang di Indonesia tahun 1945.
Saat keberangkatannya ke Indonesia, sang istri tengah mengandung anak laki-laki yang setelah lahir diberi nama Li Hung. Saat Nakamura ditemukan, anak tersebut sudah berusia 32 tahun dan dari pernikahannya dikarunia empat anak.
Menurut rencana Nakamura akan diterbangkan ke Taiwan pada Jumat, 3 Januari 1975. Berhubung malarianya belum sembuh, keberangkatannya ditunda. Baru pada 5 Januari, Nakamura dinyatakan sembuh dan diputuskan tiga hari kemudian, 8 Januari, dikembalikan ke Taiwan dengan menumpang maskapai China Air Lines.
Nakamura yang saat itu sudah memiliki nama baru Lee Kwang Hwie, meninggalkan Indonesia menuju tanah airnya Taiwan pukul 08.30 WIB dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Khusus kepada Letnan Soepardi yang telah mendampingi Lee Kwang Hwei sejak dari Morotai sampai keberangkatannya ke Taiwan, diharapkan dengan sangat untuk dapat mengunjungi Taiwan. Rakyat Taiwan dan saudara-saudara Nakamura (Lee Kwang Hwei) akan menyambutnya dengan gembira.
Mungkin karena kehidupan pribadinya yang tidak baik, menurut Soepardi, Nakamura kecanduan minuman keras. Tak lama kemudian dia sakit dan meninggal. Soepardi pun tak sempat lagi menemui Nakamura setelah berpisah di Halim. (selesai)
Sumber: mylesat.com