BERITABETA, Ambon – Ratusan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Adat Saka Mese Nusa (HIMASANU), menggelar aksi unjuk rasa di kantor gubernur Maluku, Selasa (9/10/18). Mereka mendesak gubernur Said Assagaff mencabut izin operasi PT Tanjung Wana Sejahtera (TWS) yang berencana membuka usaha kayu gelondongan (loging) pada kawasan hutan produktif di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).

Para mahasiswa juga mengikat kain merah di kepala, sebagian lainnya bertelanjang dada, memadati areal depan kantor gubernur, saling teriak sampai terdengar hingga kantor Walikota. “Kami meminta pak gubernur, segera mencabut izin yang diberikan kepada perusahaan loging, PT. Tanjung Wana Sejahtera (TWS),” kata Koordinator aksi Thomas Murehuwey.

Menurutnya, areal itu merupkan wilayah hutan masyararakat adat. Beroperasinya PT  Tanjung Wana Sejahtera dapat menyebabkan kerusakan hutan. “Karena areal itu merupakan wilayah hutan masyarakat adat, dikhawatirkan jika PT TWS diberikan izin dan beroperasi, maka akan terjadi penggundulan areal hutan, yang ujungnya berpotensi adanya kerusakan lingkungan sekitar pemukiman warga,” tuturnya.

Pantauan beritabeta.com di lokasi, Gubernur Maluku, Said Assagaff yang diharapkan bisa hadir untuk berdialog dengan pendemo, ternyata tidak berada di tempat. Pendemo diterima Petugas dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan Perlindungan Masyarakat pemerintah provinsi Maluku, menjamin bahwa minggu depan gubernur bersedia menerima perwakilan pengunjuk rasa.

Belum Beroprasi

Sebelumnya,  Dinas Kehutanan Maluku membenarkan bahwa  PT TWS, perusahaan HPH berencana akan melakukan penebangan kayu di kawasan hutan produktif Kabupaten SBB, setelah mendapatkan izin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Sampai sekarang mereka masih berproses dan secara resmi belum mendapatkan izin, sehingga perusahaan belum melaksanakan kegiatan pemanfaatan hasil hutan,” kata Kadishut Maluku, Sadli Le dalam rapat dengar pendapat Komisi B DPRD Maluku dengan Dishut dan pihak PT. TWS dipimpin ketua komisi, Ever Kermite beberapa waktu lalu.

Rapat kerja komisi dilakukan berkaitan dengan adanya aksi penolakan warga SBB atas kehadiran HPH untuk beroperasi di atas lahan mereka karena khawatir dengan ancama kerusakan lingkungan.

Menurut Sadli, berdasarkan keputusan Menteri LH dan Kehutanan nomor 854 tahun 2014 tentang kawasan hutan dan konservasi Maluku maka luas kawasan hutan produksi mencapai 3,9 juta hektare dan terbagi atas hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, serta hutan produksi yang dapat dikonversi. Hutan produksi itu seluas 643.698 Ha dan hutan produksi terbatas seluas 894.258 Ha.

Berdasarkan keputusan menteri LH nomor 9/Menhut tahun 2015, areal yang dimohonkan adalah kawasan hutan produksi. Maka tidak dibebani izin atau hak dan telah ditetapkan oleh menteri berupa peta indikatif areal pemanfaatan kawasan hutan pada hutan produksi yang tidak dibebani izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.

Keputusan menteri ini, lanjutnya,  tentang tata cara pemberian perluasan areal kerja dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi posisi atau izin usaha pemanfaatan kayu hutan tanaman industri pada hutan alam pada pasal dua dijelaskan. Jadi provinsi hanya memberikan rekomendasi gubernur yang menerangkan bahwa areal itu berada pada peta indikatif yang tidak dibebani berdasarkan tata ruang wilayah.

“Dari situ gubernur memberikan rekomendasi kepada PT. TWS lalu mengajukan proses kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui BKPM untuk melakukan pemeriksaan secara administrasi,” jelas SadliBerkas yang tidak lengkap dikembalikan, dan yang lengkap dilanjutkan ke Sekjen untuk verifikasi secara tekhnis.

Jika lolos verifikasi baru BKPM menerbitkan surat persetujuan prinsip yang berisi perintah pelaksanaan penyusunan serta penyelesaian dokumen Amdal dan izin lingkungan dan membuat koordinat geografis terkait dengan tata batas area. “Jadi PT. TWS sekarang memasuki proses ini sesuai aturan pasal delapan peraturan menteri untuk selanjutnya mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu,” tandasnya.

Direktur Utama PT. TWS, Ridwan Zaitun mengatakan, telah melakukan proses perizinan sesuai ketentuan Menteri LH dan dan Kehutanan dimana berbagai syarat telah dipenuhi sehingga prosesnya berjalan dan keluarlah SP1 atau disebut persetujuan prinsip.

Dalam surat ini berisikan perintah untuk melakukan analisa dampak lingkungan, koordinat geografis yang menunjukkan luasan areal, dan proses itu masih berlanjut.

“Informasi kalau kita sudah melakukan kegiatan tidak benar dan kita belum melakukan apa-apa, apalagi melakukan penebangan karena arealnya belum ditentukan dan itu melanggar undang-undang,” katanya. (BB/DIO)