Oleh: Julius R. Latumaerissa (Akademisi dan Pemerhati Pembangunan di Maluku)

Maluku Dalam Bingkai NKRI

MALUKU adalah Provinsi kepulauan di Timur Indonesia  dengan luas daratan 46.914,03 km2, dengan jumlah pulau-pulau 1.286 pulau, dan secara administratif memiliki  11 Kabupaten/Kota, 118 Kecamatan dan 1.240 Negeri/Desa, dengan jumlah penduduk tahun 2019 sebesar 1.802,9 orang dengan laju pertumbuhan 1,75% (BPS-2020).

Maluku memiliki potensi SDA yang berlimpah dan SDM yang memiliki peradaban yang baik. Sejak masa perjuangan sampai dengan masa Orde Lama Maluku ikut memberikan kontribusi yang nyata melalui peran-peran yang dilakukan oleh para pendahulu kita.

Kontribusi Maluku pada waktu itu bukan dilihat dari indikator makro ekonomi, tetapi lebih pada peran dan karya nyata putra-putra terbaik Maluku, melalui pemikiran konstruktif yang masih bermafaat bagi bangsa sampai hari ini.Sejarah bangsa ini mencatat hal itu sekalipun tidak semua anak bangsa mengetahuinya, mulai dari Pattimura;  A. M. Sangadji dan kawan-kawan (1817), A.Y. Patti,  Dr. Leimena, Dr. Ir. G Siwabessy, J. Latuharhary, Mohamad Padang, sampai dengan G.J. Latumahina dan sejumlah nama lainnya.

Dengan berjalannya waktu pasca kemerdekaan, bangsa ini telah mengalami banyak kemajuan dalam bidang pembangunan. Sayangnya sampai hari ini kemajuan tersebut tidak dirasakan secara merata dan baik bagi rakyat Maluku. Hampir 75 tahun bangsa ini merdeka, namun at the same rakyat Maluku tidak merasakan kemerdekaan ekonomi dengan baik.

Ketimpangan hasil pembangunan sangat dirasakan oleh rakyat Maluku, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, rendahnya infrastruktur dasar, rendahnya layanan publik dan kesejahteraan yang diakibatkan rendahnya pendapatan, rendahnya produksi dan produktivitas sektor ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) dalam proses produksi.

Retrospeksi Eksistensi Orang Maluku

Dulu orang Maluku memiliki kebanggaan seperti Musisi profesional, Atlit profesional dan banyak orang Cerdik pandai asal Maluku. Mereka mengharumkan nama Bangsa ini melalui profesi yang ada pada mereka sebagai anugerah Tuhan atas Maluku, sekalipun pikiran-pikiran cerdas anak Maluku atas bangsa ini sangat jarang dipublikasi namun dipakai oleh negara untuk masa depan bangsa ini sendiri.

Sekarang dengan berjalannya waktu, kebanggaan itu semakin sirnah dan hilang, yang ada hanya stigma buruk kepada orang Maluku dengan konsep generalisasi premanisme dan debt collector dan bentuk kekerasan lainnya. Ini realitas yang menyedihkan, dan sangat bertentangan dengan Roh dan Peradaban orang Maluku sesungghunya.

Sebagai otokritik kita harus akui bahwa kita memiliki banyak kelemahan-kelemahan sebagai bagian dari struktur sosial yang ada di Maluku. Kita sangat sensitif terhadap saran,kritik dari pihak lain, apalagi kepada mereka yang dalam catatan saya sebagai pejabat publik di Maluku. Saran dan kritik selalu dianggap menyerang atau tidak suka dan yang mengkritik dianggap sebagai musuh, sok tahu dan lain sebagainya, dan kita selalu merasa paling benar dan paling tahu, dan suka menggunakan pendekatan emosional (dalam dialek Ambon Ose sapa, Ose tahu apa).

Kondisi ini di perparah dengan adanya kecendrungan pihak-pihak tertentu yang dengan sadar memelihara dan melanggengkan kondisi dan stigma ini, untuk  kepentingan mereka, baik politik, ekonomi dan sosial. Saya menilai proses ini sangat merugikan SDM Maluku dan daerah maluku sendiri dalam jangka panjang.

Pembunuhan Karakter Orang Maluku

Jika kita mau jujur untuk mengakui, bahwa apa yang saya katakan di atas adalah upaya pembunuhan karakter orang Maluku melalui dekonstrukksi generasi sekarang, dan yang akan datang. Pembunuhan karakter ini adalah bagian dari skenario proses marginalisasi orang Maluku, sadar atau tidak, akui atau tidak ini fakta yang ada di depan kita.

Disisi yang lain keterbelakangan ekonomi Maluku, menjadi salah satu sebab dari realitas yang ada. Pembiaran terhadap keterbelakangan ini akan melahirkan ketergantungan Maluku dan orang Maluku terhadap pihak lain. Akibatnya kemandirian Maluku semakin lemah dan semakin mudah untuk dimanfaatkan baik orang Maluku sendiri, maupun SDA yang ada di Maluku. Lemahnya kemandirian akan melahirkan kehilangan percaya diri /rasa minder (less confidence), dan kekerasan menjadi solusi untuk mengatasi less confidence itu..

Upaya-upaya pihak lain untuk membunuh karakter orang Maluku dalam jangka panjang adalah dengan menjalankan politik adu-domba yang dapat membenturkan sesama anak Maluku sendiri, melalui infiltrasi sosial, ekonomi, politik dan budaya dari dalam. Upaya upaya ini jelas diformulasikan dengan membangun dualisme dan dikotomi ke-sukuan, ke-daerahan, ke-sektarian dan isme-isme atau mashab-mashab (paham-paham) baru dengan berbagai diksi dan narasi yang logis kemudian diviralkan melalui media sosial untuk membangun public openion dan negative sentiment orang Maluku.

Berbagai panggung yang rapuh disediakan, dengan segala fasilitas semu dan sesaat, dengan menjalankan “politik belah bambu” (satu diangkat yang lain di tindas), sehingga terciptalah kesenjangan dan kecemburuan sosial sehingga mengakar secara kuat dalam hidup orang Maluku. Jika semua ini sudah terbentuk dengan kuat dan diyakini tidak goyang, maka genderang pertikaian dipukul dan yang terjadi adalah sesama anak Maluku yang lahir dari satu kandungan NUSA INA mulai dibenturkan.

Disaat kita sibuk dengan berbagai pertikaian, perdebatan yang tidak seharusnya terjadi dan tidak bermanfaat, maka pihak-pihak ketiga (para oligarki) ini dengan leluasa menjelajahi dan mengeksploitasi SDA Maluku tanpa ada perlawanan dari orang Maluku yang memiliki hak ulayat. Bentuk penjelajahan itu dilakukan dengan baju direct investment atau joint ventura melalui jejaring mereka yang ada di luar Maluku dan di Maluku dengan double standard atau double faced, harga murah (low price) tetapi hasil eksploitasinya besar (high profit) dan terjadi capital out lfow (pelarian dana dari maluku ke luar maluku) secara besar-besaran.

Marginalisasi Maluku Di Atas Kelimpahannya

75 tahun Maluku dalam bingkai NKRI, dan kita ikut dalam proses pembangunan yang ada, namun kurun waktu tersebut juga rakyat Maluku banyak merasakan kepahitan hidup dari hasil pembangunan itu. Untuk memberikan gambaran realitas bahwa Maluku dan rakyat Maluku belum merasakan kemerdekaan ekonomi dan berada dalam keterpurukan yang dalam maka saya ingin memberikan gambaran capaian hasil pembangunan di Maluku selama ini secara singkat melalui paparan tabel di bawah ini:

  1. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Pendataan Potensi Desa (PODES), diolah
  2. Sumber: Buku Informasi Statistik, Kementrian PUPR, diolah
  3. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Berita Resmi Statistik No. 102/12/Th. XXI, diolah
  4. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Statistik Indonesia, beberapa Publikais, diolah
  5. Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku, beberapa Publikais, diolah

Dari informasi tabel diatas dapat diketahui bahwa sampai dengan tahun 2019 kemajuan yang dicapai Maluku selama 75 tahun Indonesia merdeka adalah Indeks Kebahagiaan Maluku 73,77%, tertinggi urutan ke-dua dari Maluku Utara 75,68%. (warna hijau), selebihnya sebagian besar indikator sosial ekonomi Maluku adalah menunjukan keterbelakangan dan ketertinggalam secara terstruktur dan masif (warna merah).

Upaya Penyelamatan

Catatan sederhana yang disampaikan diatas sebenarnya hanya sedikit gambaran dari perkembangan dinamika yang ada, karena itu diharapkan semua pihak, baik pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten/Kota dan semua stackholders pembangunan di Maluku untuk secara bersama memikirkan langkah langkah penyecagahan dan penyelesaian secara konkrit.

Tidak pernah jenuh-jenuh saya mengatakan bahwa Kebangkitan Maluku membutuhkan kesadaran kolektif semua elemen masyarakat Maluku di mananapun berada. Kesadaran akan keterbelakangan dan keterpurukan ini sebagai suatu masalah bersama yang harus dihadapi secara bersama dan proporsional sesuai kewenangan dan kompetensi kita masing-masing. Kesadaran ini kemudian akan melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan sehingga nasionalisme kemalukuann akan terbentuk menuju persatuan dan persaudaraan rakyat Maluku secara utuh dan tulus tanpa diwarnai dengan berbagai kepentingan yang lain.

Persatuan rakyat Maluku, bukan dalam arti menghilangkan keragaman, tetapi persatuan yang utuh dan kuat yang terbangun dalam keragaman orang Maluku adalah suatu kondisi yang tidak sulit untuk diwujudakan karena kita semua memeiliki akar sejarah yang kuat dalam bingkai Patasiwa-Patalima. Dalam keragaman kita mampu untuk membina dan memupuk kebersamaan dalam membangun masa depan Maluku yang dicita-citakan.

Kebersamaan bukan berarti selalu harus bersama, Kebersamaan rakyat maluku harus dibangun dalam tatanan saling hormat menghormati atas semua perbedaan yang ada. Sejak awal kita semua sadar bahwa kita memang berbeda, tapi kita bisa berjalan bersama untuk menjahit kain yang robek (sobek) untuk menjadi Payung Maluku yang besar yang dapat melindungi dan memebrikan rasa aman dan nyaman bagi semua orang Maluku

Ale rasa – Beta rasa, Potong di Kuku rasa di Daging, Pela – Gandong, Salam-Sarani, Kabaresi, Lawamena Haulala, semua ini akan tidak punya makna persaudaraan Kemalukuan sejati, jika hanya di ucapkan, dikumandangkan sebagai simbol-simbol indentitas entitas orang maluku secara serimonial.

Rakyat Maluku harus cerdas menyikapi berbagai model issu dan kampanye para elit politik yang Tuna Visi, Tuna Konsep dalam membangun Maluku, yang semuanya bermuara dengan membonceng issu-issu dikotomi Agama, Kampung, Suku dan Pulau.

Akibat ketidakmampuan dalam melakukan pertarungan di panggung politik praktis, maka pola-pola dikotomi dan polarisasi ini dikemas sebagai produk basi, produk gagal, produk berisi racun sosial yang akan memusnahkan nilai-nilai persatuan dan persaudaraan mula-mula orang Maluku (***)