Oleh : Edha Sanaky (Aktivis LSM dan Pemerhati Masalah Sosial)

TINGGAL menghitung jam, kita akan berjumpa kembali dengan Ramadhann Kareem. Bulan  penuh  rahmat, maghfirah dan ampunan. Menjelang ramadhan ataupun lebaran, kata yang sering kita dengar adalah “mudik”.

Mudik sudah menjadi tradisi yang identik dengan momentum masyarakat yang kembali ke kampung halaman untuk melepas rindu dan berkumpul bersama sanak saudara.

Mudik sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan Ramadhan dan lebaran.  Dalam kamus bahasa Jawa Ngoko, mudik adalah singakatan dari “Muleh Dilik” atau pulang segera.

Dikutip dari Wikipedia, mudik berarti kegiatan masyarakat perantau atau pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Dalam KBBI, ada dua penjelasan tentang mudik. Pertama mudik diartikan sebagai berlayar atau pergi dari hulu sungai atau pedalaman. Kedua, diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.

Tradisi mudik ini sebenarnya sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, mudik yang dilakukan adalah pulang kampung untuk mengamankan makam leluhur dan meminta keselamatan serta dilimpahkan rejeki.

Di Indonesia, tradisi mudik puasa dan lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Jakarta sebagai role model Indonesia memiliki perkembangan yang meningkat.

Penduduk kampung biasanya berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari  pekerjaan. Mereka yang sudah bekerja di ibukota biasanya mendapatkan libur pada panjang hanya saat hari raya Idul Fitri, sehingga momentum inilah yang digunakan orang-orang yang merantau itu untuk mudik, bukan saja berjumpa dengan keluarga tapi juga sebagai pengakuan kesuksesan selama di rantau.

Berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik selama masa lebaran mengalami peningkatan yang cukup tinggi dalam lima tahun terakhir.

Tahun 2018 jumlah pemudik mencapai 21,6 juta orang, meningkat dari 2017 sebanyak 20,3 juta orang dan tahun 2019 jumlah pemudik mencapai 23 juta orang. Jumlah yang tinggi ini membuat Indonesia menjadi negara dengan mobilisasi paling tinggi saat Lebaran.

Tahun ini, tradisi mudik tidak semulus tahun-tahun sebelumnya. Wabah coronavirus disease (Covid-19) yang melanda dunia termasuk Indonesia, telah merubah semua yang sebelumnya terjadi.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan status darurat internasional akibat meningkatnya jumlah yang tewas akibat virus ini dan sebagai pandemik.  Pandemi adalah sebuah epidemik yang telah menyebar ke beberapa negara atau benua, dan umumnya menjangkiti banyak orang.

Lembaga kesehatan masyarakat Amerika Serikat, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), menyebutkan bahwa penyakit akibat sebuah virus sebagai pandemic apabila virus tersebut bisa menginfeksi orang dengan mudah dan menyebar dari orang ke orang dengan cara yang efissien dan berkelanjutan di berbagai wilayah. Sehingga yang ditakutkan saat ini dari Covid-19 ini adalah tingkat penyebarannya yang begitu cepat dengan model  penyebaran yang tidak mudah terdeteksi.

Beberapa cara penularan virus sudah sering dikumandangkan diberbagai media seperti kontak dengan benda yang sudah terjamah oleh si pembawa virus, tidak menjaga kebersihan, tidak menerapkan etika batuk dan bersin, dan terjadi interaksi  dengan banyak orang di suatu kerumunan atau perkumpulan orang ataupun tidak mengisolasi diri ketika baru kembali  dari wilayah pandemic.

WHO maupun pemerintah sendiri telah menyampaikan berbagai himbauan sebagai antisipasi penyebaran virus corona tersebut. Social distancing (pembatasan social) dan physical distancing (pembatasan interaksi  fisik) atau yang lebih dikenal dengan #jagajarak menjadi salah satu imbauan pemerintah untuk memerangi dan memutuskan rantai penyebaran corona.

Salah satu imbas dari pemberlakuan Social distancing dan physical distancing adalah tentang larangan mudik. Jika mudik dalam kondisi normal saja tak mudah untuk dikendalikan. Kita bisa membayangkan bagaimana mengendalikan pergerakan pemudik dalam jumlah yang besar di masa pademi COVID-19.

Ketika ada pernyataan “boleh mudik asal tidak membawa virus”, realistiskah? Atau ada garansi? Mengingat 10 juta atau 20 juta orang pemudik merupakan jumlah yang sangat banyak.

Apalagi belakangan ramai dikabarkan beberapa kasus pasien positif Covid-19 tanpa gejala klinis atau asimtomatik.  Meskipun protokol kesehatan telah dilakukan pada orang yang baru datang pun  tidak menjamin virus tidak akan meyebar.

Pemerintah memang telah menetapkan bahwa pemudik yang berasal dari daerah paling rentan atau zona merah COVID-19 akan berstatus ODP (Orang Dalam Pantauan), sehingga setibanya di kampung halaman maka diwajibkan untuk menjalani karantina selama 14 hari. Itupun tidak menjamin bahwa ODP akan mematuhi aturan tersebut.

Mudik ditengah pandemik bukan pilihan yang tepat, justru menjadi ancaman. Bukan tanpa alasan pemerintah melalui  Badan Penaggulangan Bencana Nasional (BNPB) telah memperpanjang status darurat Covid-19 sampai dengan 29 Mei 2020.

Saat mudik. Potensi penyebaran bisa berkali lipat. Pemudik berpotensi menjadi carrier atau pembawa virus dari daerah yang terpapar. Utamanya bila termasuk zona merah, sehingga menjadi sumber penularan.

Menyikapi kondisi yang terjadi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan taushiyah atau rekomendasi terkait ibadah Ramadhan dalam suasana pandemi virus corona. Salah satunya melarang tentang kegiatan mudik.

Sandaran taushiyah MUI adalah rujukan  hadist Rasulullah yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:  “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di suatu tempat sedang kamu berada di dalamnya, maka kamu jangan keluar dari tempat itu.”

Demi keselamatan kita bersama, demi keselamatan saudara-saudara kita, tangguhkanlah niat untk mudik saat ini. Silahturahmi bukan hanya dengan cara bertemu fisik antara keluarga.

Kecanggihan teknologi telah memudahkan orang bisa saling bertatap muka lewat video call. Dan yang terpenting dari semua itu adalah silahturahmi lewat doa.

Alangkah indahnya saling mendoakan satu dengan yang lain. Sebagai warga Negara yang baik, mari kita mentaati segala yang telah ditetapkan sebagai aturan oleh pemerintah demi keselamatan kita bersama (***)

Marhaban Yaa Ramadhan ..Mohon maaf lahir