BERITABETA.COM, Jakarta – Sikap tegas Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, yang menolak bernegosiasi dengan Tiongkok terkait batas maritim di Laut China Selatan pekan lalu mendapatkan dukungan dari pengamat keamanan internasional.

Dukungan ini disampiakan Direktur Eksekutif Cakramandala Institute, Adhe Nuansa Wibisono melalui keterangan persnya yang dikirim dari Ankara, Turki, kepada beritabeta.com, Selasa (16/06/2020)

Adhe menjelaskan, sikap pemerintah Indonesia yang terus konsisten bersandar pada konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1962 dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dalam melihat batas wilayah maritim di konflik Laut China Selatan perlu mendapatkan dukungan.

“Kedaulatan wilayah maritim Indonesia sudah dijamin oleh hukum Internasional, ini satu posisi dasar yang menguntungkan dalam berhadapan dengan Tiongkok”, kata Wibisono.

Konflik wilayah perairan ini terjadi dikarenakan klaim sepihak Tiongkok melalui demarkasi Nine-Dash Line atau Sembilan Garis Putus-Putus yang mengklaim hampir seluruh kawasan Laut China Selatan.

Klaim sepihak Tiongkok tersebut bersinggungan dengan wilayah kedaulatan maritim sejumlah negara seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina dan Taiwan.

Wibisono menilai penamaan wilayah perairan Laut Natuna Utara di zona perbatasan merupakan langkah yang baik, “Sebenarnya pemerintah telah mengambil langkah strategis dalam konflik Laut China Selatan ini dengan menamai ulang kawasan perairan zona ekonomi eksklusif yang berjarak 200 mil dari pulau terluar Natuna menjadi Laut Natuna Utara untuk menolak klaim historis Tiongkok, tetapi hal itu saja tidak cukup”.

“Tiongkok masih menganggap Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah demarkasi maritim mereka. Tentu saja kita tidak lupa dengan insiden kapal-kapal Tiongkok menangkap ikan secara ilegal dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantainya di dalam wilayah ZEE di Laut Natuna Utara. Insiden ini menandakan lemahnya pengawasan terhadap wilayah batas maritim Indonesia”, kata kandidat doktor Turkish National Police Academy tersebut.

Alumnus Universitas Gadjah Mada itu kemudian menyayangkan sikap pemerintah yang memotong anggaran pertahanan di tengah kondisi krisis Laut China Selatan yang kapan saja bisa memanas ini.

Ia mengatakan, di tengah situasi rawan konflik terbuka seperti sekarang ini pemerintah malah memotong anggaran kementerian pertahanan yang semula sebesar Rp 131,182 triliun menjadi Rp 122,447 triliun. Padahal ini adalah momentum yang kritis untuk memperkuat pertahanan maritim Indonesia di Laut Natuna Utara.

Seperti yang diketahui, Beijing saat ini telah mendirikan distrik administratif baru di Laut China Selatan, dan mengerahkan kapal induk Liaoning dan kapal-kapal lainnya untuk latihan militer. Selain itu Tiongkok  juga menyiapkan armada kapal penjaga pantai dan kapal penangkap ikan yang dapat dikerahkan ke Laut China Selatan sewaktu-waktu.

“Dengan meningkatnya ancaman kehadiran armada laut Tiongkok di Laut China Selatan, pemerintah seharusnya waspada dan meningkatkan patroli keamanan di wilayah Laut Natuna Utara untuk mencegah terulangnya insiden masuknya kapal-kapal asing. Jika pemerintah tegas, maka akan menjadi sinyal merah bagi Tiongkok dan negara lainnya agar tidak bermain-main dengan Indonesia”, pungkasnya (BB-DIP)