Perang Dagang Saat Pandemi

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST (Statistisi Muda BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara)
Beberapa waktu lalu, tepatnya 8 November 2020, Joe Biden sah menjadi Presiden terpilih yang baru bagi negara adidaya, Amerika Serikat. Joe Biden berhasil mengalahkan Presiden petahana Donald Trump.
Biden berhasil mengumpulkan 290 suara elektoral, dengan perolehan suara tersebut, artinya syarat 270 suara elektoral untuk memenangkan pemilu di Amerika Serikat telah terpenuhi. Ya, tanpa melihat perolehan suara total.
Terpilihnya Joe Biden menjadi Presiden Amerika Serikat yang baru, tampaknya disambut baik oleh rakyat dan negara-negara lain. Salah satu alasannya mungkin adalah banyak yang tidak menyukai gaya memimpin Trump dalam menahkodai Amerika Serikat.
Trump. Sebut saja cenderung arogan, otoriter, dan menjadikan musuh setiap negara yang bertentangan pendapat dengannya sebagai sampelnya. Banyak negara yang menjadi rival Amerika Serikat semenjak Trump menjabat sebagai Presiden, lima tahun yang lalu.
China adalah salah satunya. Amerika Serikat dan China saling beradu dari sisi ekonomi, utamanya sektor perdagangan. Hingga akhir-akhir ini sering disebut dengan istilah "Perang Dagang". Mereka saling berebut pasar.
China menggunakan serangan senyap untuk memasarkan produk mereka ke seluruh dunia. Tanpa banyak suara, produk-produk made in China sudah membanjiri negara negara di dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu alasan produk China bisa diterima negara yang menjadi pasar mereka adalah harga pasar yang jauh lebih murah. Hal itulah yang membuat negara berkembang seperti Indonesia sudi untuk mengimpornya.
Teknik amati, tiru, modifikasi yang dilakukan China seakan sukses membuat Amerika Serikat ketar ketir akan kehilangan kedigdayaannya. Puncaknya adalah ketika World Trade Organization (WTO) mengumumkan bahwa Amerika Serikat telah melanggar aturan perdagangan global karena memberlakukan tarif miliaran dolar dalam perang dagangnya ke China.
WTO mengatakan bea masuk Amerika Serikat melanggar aturan perdagangan karena hanya berlaku untuk China.
Pertanyaannya sekarang adalah, dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden baru Amerika Serikat, apakah perang dagang dengan China akan terus berlanjut, atau tidak? Pasalnya selama kampanye, Joe selalu berkoar-koar bahwa akan selalu menjaga hubungan baik dengan negara manapun.
Lantas, bagaimana cara Joe menjaga hubungan baik, dengan situasi perang dagang yang sudah semakin meruncing ini.
Sangat menarik untuk ditunggu. Neraca Perdagangan Amerika Serikat pada tanggal 4 November 2020 tercatat minus 63,9 miliar US$, angka tersebut lebih buruk dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai minus 67,10 miliar US$.
Neraca perdagangan yang minus menandakan impor lebih besar dibandingkan ekspor. Ketika impor lebih besar dibandingkan ekspor, dan sudah berlangsung selama beberapa tahun, apakah masih pantas berharap memenangkan perang dagang dengan China?
Sebaliknya, China cenderung memiliki tren neraca perdagangan yang positif. Tercatat pada Juli-Oktober 2020, hanya bulan September 2020 yang minus. Pada bulan terakhir, Oktober 2020, mencapai 58,44 miliar US$. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat tentu sangat berbanding terbalik.
Dengan data tersebut, tampaknya sudah terlihat siapa pemenang perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Pada saat pandemi Covid-19 ini, semua negara di dunia memang sedang berusaha bangkit dari resesi ekonomi, termasuk Amerika Serikat.
Namun sepertinya, Presiden terpilih Joe Biden lebih memilih berfokus pada penanganan kesehatan terlebih dahulu, supaya kasus positif tidak bertambah banyak lagi. Meskipun pemulihan ekonomi juga termasuk ke dalam empat langkah strategis Joe Biden setelah terpilih.
Langkah strategis lainnya adalah kesetaraan rasial dan perubahan iklim. Ya, sepertinya Joe Biden ingin segera memulihkan kesehatan penduduk Amerika Serikat. Setelah dirasa pulih, Joe akan segera memulihkan perekonomian Amerika Serikat.
Buat apa perekonomian membaik, namun masyarakatnya binasa oleh Covid-19. Pasalnya, sampai saat ini, Amerika Serikat tercatat sudah 240.000 korban jiwa akibat Covid-19. Para pemerhati pemerintahan Amerika Serikat juga beranggapan bahwa ini efek dari kecerobohan Presiden Trump dalam menangani Covid-19.
Terakhir, faktanya Pemilu Amerika Serikat baru-baru ini adalah kesempatan bagi masyarakat Amerika Serikat untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Presiden Trump. Kalau masyarakat puas, tidak mungkin rasanya seorang petahana tumbang dalam Pemilihan Presiden pada periode kedua.
Melihat perang dagang yang semakin meruncing antara Amerika Serikat dan China. Indonesia seharusnya segera bersiap, setidaknya untuk sekadar bertahan dalam gempuran laju impor barang yang berlebih entah itu dari China maupun Amerika Serikat.
Pengeluaran negara yang sudah meledak akibat penanganan Covid-19, seharusnya tidak ditambah lagi dengan permintaan barang dari luar negeri lagi. Konsumsi produk dalam negeri. Agar ekonomi juga bergerak kembali (*)