Kawasan Timur Butuh Desain Kesejahteraan, Bukan Desain Pertahanan Militer
Oleh: Dipl.Oek. Engelina Pattiasina (Direktur Archipelago Solidarity Foundation)
Beberapa waktu, tepatnya pada 20 September 2022 yang lalu, penulis menonton Presiden Filipina, Ferdinand "Bongbong" Romualdez Marcos Jr saat berpidato di sesi ke-77 Majelis Umum PBB, di markas besar PBB, New York.
Pidato debut Marcos Jr di panggung dunia ini cukup menarik, karena begitu gamblang menyampaikan tantangan global, terutama ketidakadilan bagi negara berkembang, karena harus menanggung beban yang sebenarnya dipicu negara maju.
Ada empat tantangan global yang diungkapkan Marcos Jr, yakni perubahan iklim, polaritas geopolitik dan penajaman kompetisi strategis, serta ketidaksetaraan. Namun, dari sekian banyak isu yang penting, penulis cukup menyimak ketika Marcos Jr membicarakan pembangunan berkelanjutan, yang memungkinkan generasi mendatang sehat, bahagia, dan aman.
Marcos jr, mengatakan, “Hal ini membutuhkan investasi dalam ketahanan pangan, yang kerapuhannya telah ditunjukkan dengan jelas oleh pandemi dan konflik di Ukraina. Kita perlu mengambil langkah nyata menuju pertanian modern dan tangguh. Karena makanan bukan hanya komoditas perdagangan atau mata pencaharian. Ini adalah keharusan eksistensial, dan moral. Ini adalah dasar dari keamanan manusia.”
Marcos Jr yang menjadi Presiden Filipina pada Mei 2022 lalu ini menjelaskan, untuk mencapai swasembada dan keamanan pangan, Filipina menyediakan solusi inovatif dan dukungan keuangan kepada petani dan nelayan untuk mengadaptasi teknologi baru dan terhubung ke rantai pasokan nasional dan global.
Apa yang disampaikan ini sangat tepat, karena persoalan pangan bukan sekadar persoalan komoditi perdagangan, tapi ini soal kemanusiaan. Sebab, sudah sangat lama seolah pangan ini hanya barang dagangan dan mungkin para pedagang dan calo pangan melupakan ada persoalan kemanusiaan yang sangat mendasar di sana. Karena bermain-main dengan pangan sama dengan mempermainkan persoalan kemanusiaan.
Ketika pada masa awal pandemi covid-19, penulis pernah menulis di beberapa media mengenai perlunya upaya segera untuk mengantisipasi persoalan pangan, karena dengan pandemi semua Negara akan memprioritaskan kepentingannya sendiri, sehingga akan menganggu pasokan pangan bagi Negara yang mengandalkan impor, termasuk Indonesia yang saat itu mengimpor hampir semua pangan. Untuk itu, pandemi harus dijadikan momentum kebangkitan pangan lokal. Tapi, selama pandemi ini—mungkin perlu diuji lagi seolah Indonesia tidak mengalami kesulitan pangan serius, meski ada berbagai kenaikkan harga.
Kalau begini, sangat wajar untuk mempertanyakan kepentingan impor yang dilakukan sebelum pandemi. Tidak berarti bahwa impor tidak dibutuhkan tetapi sangat mungkin calo impor menciptakan kekhawatiran, sehingga kran impor pangan dibuka, di sisi lain, secara tidak langsung “membunuh” petani dan potensi pengembangan pangan lokal Indonesia.
Namun, ketika krisis pangan melanda dunia barulah para pemimpin dan elit kita seolah tersentak dan bangun dari tidur panjang, karena mengabaikan, menelantarkan pangan lokal dan mengidolakan pangan impor yang mungkin saja kebutuhan para mafia impor.