Kawasan Timur Butuh Desain Kesejahteraan, Bukan Desain Pertahanan Militer
Hal baik seperti ini, yang semestinya menjadi inspirasi dari para pemimpin, untuk bisa membedakan mana hal yang sangat mendasar bagi rakyat dan mana menjadi pendukung pemenuhan kebutuhan rakyat. Sebab, sangat berbahaya kalau kebutuhan mendasar rakyat dihambat atau terhambat pemenuhannya hanya karena persoalan prosedur dan administratif.
Bagaimanapun krisis pangan dan krisis energi menjadi masalah global dalam beberapa waktu belakangan ini. Hal ini menunjukkan, bicara pangan dan energi, bukan sekadar pemenuhan kebutuhan mendasar, tetapi juga bisa menjadi “senjata” dalam menjamin keberlangsungan di masa mendatang.
Untuk itu, ketika Presiden Joko Widodo dan Menhan Prabowo berkunjung ke Maluku beberapa hari lalu, dengan salah satu kegiatan untuk mencari titik pertahanan di pulau terluar, hal itu juga menunjukkan kegagalan untuk memastikan bahwa pertahanan terbaik itu adalah kesejahteraan rakyat di pulau terluar dan kawasan timur, dimana Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT merupakan provinsi termiskin di Indonesia.
Pertahanan militer secanggih apapun yang mau dibangun Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo tidak akan mampu membendung ancaman dari luar, kalau tidak mampu menyelesaikan persoalan kesejaheteraan di kawasan timur. Tetapi dengan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran di kawasan ini akan menjadi senjata yang paling ampuh untuk menghadang ancaman apapun.
Tetapi, hal itu masih jauh dari harapan, karena pemerintah tidak mampu untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan, karena berbagai kebijakan justru menunjukkan sebaliknya. Smelter Freeport yang nyata-nyata merupakan hak orang papua tetapi ditarik jauh ke Jawa, sehingga multiplier effect di bidang ekonomi yang semestinya berada di Papua, justru berpindah ke Jawa Timur.
Blok Masela yang nyata-nyata berada di Bumi Maluku, mau dikelola secara terapung, sehingga Maluku nyaris tidak mendapatkan apapun dengan cara pengelolaan seperti itu.
Kalau padaakhirnya, kilang Blok Masela berpindah dari laut ke darat, pada dasarnya bukan berangkat dari kesadaran pengelola Negara untuk mensejahterakan Maluku, tetapi perpindahan itu dilakukan setelah melalui desakan yang melelahkan.