Kawasan Timur Butuh Desain Kesejahteraan, Bukan Desain Pertahanan Militer
Sebab, kalau ditarik jauh ke belakang, kawasan timur Indonesia pada awalnya bukan pemakan beras, tetapi mengandalkan sagu, sorghum, umbian, jagung dan sebagainya sebagai makanan pokok. Tapi, untuk sekadar menancapkan dominasi seolah para pemakan beras lebih superior, beradab dan maju dari yang lain.
Secara perlahan pemerintahan dari masa ke masa menularkan beras ke berbagai pelosok negeri, sehingga melahirkan pergeseran pola makan dan melahirkan kebiasaan “belum makan kalau belum makan nasi”. Kebiasaan seperti ini menempatkan pangan lokal yang semula sebagai makanan pokok bergeser menjadi makanan pelengkap.
Hal inilah yang memicu pangan lokal tidak memperoleh dukungan prioritas dalam memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, kebijakan dari pusat sampai ke daerah tidak pernah menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap pangan lokal.
Sebagai contoh, beberapa bulan lalu, Presiden Joko Widodo mengunjungi lahan sorghum di Sumba, Nusa Tenggara Timur, mungkin bagi warga di luar NTT atau anak milineal asing dengan sorghum, tetapi tentu saja tidak dengan warga NTT yang sangat akrab dengan sorghum.
Bahkan, seorang sastrawan asal NTT, Gerson Poyk pernah menulis sebuah cerita pendek (cerpen) dengan judul “Sorghum”. Bahwa sorghum bertahun-tahun dilupakan, tentu persoalan bukan ada di warga tetapi ada pada mereka yang memegang kekuasaan, yang semestinya berkewajiban memfasilitasi, mendorong dan mengarahkan kebijakan.
Namun, secara positif, tentu perhatian Presiden Jokowi meski sangat terlambat, tetapi itu lebih baik daripada tidak peduli sama sekali. Namun, kita berharap, para pemimpin di masa mendatang, ada keberpihakan yang nyata terhadap pangan lokal, bukan pangan lokal dicari ketika jalan impor mereka tertutup. Jangan sampai ketika keenakan impor, pangan lokal dilupakan, tetapi menemui jalan buntu barulah mereka sadar ternyata pangan lokal adalah penyelamat. Sadar sebelum telat.
Kalau sorghum di NTT dilupakan, tidak berbeda jauh dengan sagu di Sulawesi, Maluku dan Papua. Sagu ini menjadi makanan pokok di wilayah ini sebelum digeser beras. Tetapi, sangat miris kalau melihat bagaimana tanaman sagu seolah hanya dibiarkan tumbuh alamiah tanpa adanya program, teknologi dan berbagai dukungan lain untuk semakin mengembangkan atau memperluas lahan sagu, Yang terjadi justru, hutan sagu alami dibabat habis untuk dikonversi ke berbagai kebutuhan lain.