Oleh: Nardi Maruapey (Aktivis HMI Cabang Ambon)

Dalam medio 2022 ini kita menyaksikan ada berbagai macam peristiwa sekaligus hiruk pikuk yang secara masif terjadi dan mewarnai perjalanan kehidupan negara-bangsa kita. Semua hal yang terjadi itu lebih menjurus ke bentuknya yang negatif dan tentunya buruk.

Sehingga semuanya itu sudah menjadi identitas baru untuk Indonesia kita. Identitas yang buruk tentunya. Berbagai macam masalah berdatangan dan silih berganti. Dari masalah satu ke masalah yang lain. Tanpa ada penyelesaian sampai ke titik yang paling akhir yang bisa melahirkan sebuah solusi. Kita sebagai bangsa pun lupa bagaimana belajar dari pengalaman. Pada akhirnya, kita sering mengulang-ulang kesalahan yang sama.

Padahal kita adalah Indonesia. Negara yang semua penduduknya punya suatu sistem kepercayaan/keyakinan yang disebut agama. Negara yang punya pedoman dan dasar negara yang jelas dan konkrit sabagai landasan bermasyarakat-bernegara yakni pancasila. Negara yang sangat menghargai perbedaan dari semua aspek kehidupan, menjunjung toleransi dan pluralisme karena kita sangat bhineka tunggal ika.

Tapi identitas dan pribadi kita di atas, tidak dijadikan sebagai entitas dan karakter yang harus terus dirasionalisasikan untuk menghindari masalah-masalah yang membuat kita kerdil menjadi bangsa merdeka. Lalu kemudian kita bertanya, "ada apa dengan bangsa ini?".

Tulisan ini sederhananya hanya untuk mengemukakan apa yang ada di balik fakta-fakta yang terjadi belakangan di sekitaran kita. Merujuk pada filsafat dualisme Imanuel Kant dimana terdapat noumena pada fenomena atau disetiap fenomena ada noumena. Kant mengatakan realitas sebagai konstruksi pikiran yang mencakup totalitas elemen pemikiran fenomenal maupun noumenal dan terdiri dari atas dunia ideal dan simbolik. 

Ragam Masalah

Kita lihat saja, dari pertengahan tahun 2022 ini sampai sudah mendakati akhir tahun. Sudah ada banyak peristiwa dan kejadian yang secara keseluruhan semuanya bermasalah dan punya dampak buruk bagi masyarakat. Mari kita runut peristiwa dan kejadian itu:

Pertama, kasus Fredy Sambo seorang yang menembak mati seorang Brigadir Josua. Kasus ini menyeret institusi kepolisian secara total dan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian dari kasus tersebut. Kriminalitas di dalam tubuh kepolisian. Polisi bunuh polisi. Akhirnya masyarakat merasa takut, sebab aparat polisi saja bisa bunuh sesama anggotanya. Apalagi masyarakat.

Lalu mengapa kasus Ferdy Sambo begitu menarik perhatian? Padahal, bagi saya, kasus Ferdi Sambo cuman pembunuhan yang biasa-biasa saja seperti juga kasus kriminal atau pembunuhan yang sering kita lihat, dengar dan amati.

Siti Afifiyah (2022) dalam tulisannya, bahwa karena ia (FS) memiliki posisi penting di tubuh Polri dan kejadian perkara ada di dalam rumah dinasnya sendiri, serta melibatkan para anggota Polri itu sendiri. Citra yang diagung-agungkan, untuk mewujudkan integritas Polri. Seketika citra itu ambyar. Wajah Polri semakin babak belur. Bagaimana bisa mengayomi masyarakat, di dalam institusinya sendiri, bahkan di dalam rumah (dinasnya) petinggi Polri tercium ketidakberesan.

Kasus ini dipecahkan cukup lama sampai sekarang dan belum selesai. Padahal pelakunya jelas yakni Fredi Sambo. Tetapi, sangat mengambang putusannya. Dari kasus ini, ternyata publik sudah bisa punya penilaian bahwa masih banyak lagi catatan hitam yang miliki kepolisian dalam kehidupan bernegara kita.

Kedua, kelangkaan bahan bakar (minyak tanah) serta naiknya harga BBM yang itu sangat menyusahkan bahkan menyengsarakan rakyat Indonesia. Sebab yang mengatur harga bahan bakar minyak ada juga keterlibatan swasta/cukong. Negara kehilangan kekuatannya dalam mengatur harga pasar.

Jadi, ada praktek swastanisasi atau privatisasi dalam sektor kebijakan di tubuh perusahan milik negara (BUMN) yakni di Pertamina. Artinya dibalik ini adalah permainan para kelompok neoliberalisme untuk menguasai sistem perekonomian Indonesia, terkhusus minyak bumi.

Pada cara yang lain, rakyat diberi subsidi dan bantuan sosial oleh negara tentu dengan tujuan agar rakyat tidak protes dengan kondisi dimana bahan bakar langkah dan mahal serta bahan pangan yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat mahal. Sebuah paradoks yang sangat nyata terjadi.

Ketiga, kerusuhan di dalam Stadion Kanjuruhan Malang setelah pertandingan antara klub sepak bola Arema FC (Malang) melawan Persebaya (Surabaya) yang hasil dari pertandingan itu tuan rumah Arema FC kalah. Kekalahan itu membuat para suporter kecewa dan melampiaskannya dengan turun langsung ke lapangan.

Aparat keamanan baik polisi dan TNI langsung mencegah dan membubarkan massa dengan melakukan tindakan represif, kekerasan bahkan penembakan gas air mata ke mereka suporter. Hal itu dilihat dari berbagai macam foto dan video yang tersebar diberbagai media massa.

Padahal tindakan penembakan gas air mata dan membawa senjata api oleh aparat keamanan ke dalam stadion adalah sesuatu dilarang oleh federation international football asociation atau FIFA. Aturan itu bisa dilihat via Pasal 19 b yang berbunyi:  No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan). Akbiat dari kerusuhan kelam ini membuat sebanyak 127 orang meninggal dunia.

Lagi-lagi ini menjadi catatan buruk bagi dunia sepak bola Indonesia. Pasalnya, peristiwa yang menghilangkan nyawa manusia di dalam dunia sepak bola kita ini bukan pertama kalinya terjadi. Di tahun 2012 hingga 2018 korban sebanyak 7 orang suporter tewas di balik laga Persib melawan Persija (Kompas.com, 26/9/2018).

Keempat, fakta dan realitas sosial di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Masalah ketidakadilan, penindasan, kriminalitas, konflik sosial, cara berpikir dan karakter masyarakat yang mengalami kemunduran. Padahal kita hidup di zaman modern, tapi pikiran masyarakatnya masih banyak yang primitif.

Dan potensi untuk akan timbul masalah-masalah yang baru sangat besar terjadi di Indonesia. Jika tidak hati-hati, bangsa ini menuju pada apa yang dinamakan the lost generation (Barnawi & Arifin, 2012). Karakter bangsa yang semakin menurun dari waktu ke waktu telah menjadi pembicaraan serius, mulai dari kalangan rakyat biasa sampai kepada pejabat dan kepala negara. Karakter bangsa juga tidak hanya menjadi isu lokal dan nasional, tetapi juga telah menjadi isu global (Bambang Suryadi, 2015).

Menurut Sudarminta ada tiga gejala sosial yang dapat dikatakan merupakan indikasi bahwa bangsa kita masih mengidap krisis moral. Tiga gejala sosial itu adalah: (1) masih merajalelanya praktik KKN dari tingkat hulu sampai hilir birokrasi pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; (2) lemahnya rasa tanggungjawab social para pemimpin bangsa serta pejabat public umumnya; dan (3) kurangnya rasa kemanusiaan cukup banyak warga masyarakat kita (Sudarminta, 2004).

Menjadi Bingung

Dalam setiap berita dan informasi yang berkembang sekarang ini, publik selalu mengkomsumsi berita dan informasi tidak   baik. Bahkan, publik seakan-akan di arahkan untuk harus memberi penilaian dan menentukan pilihan-pilihan untuk berada pada kutub setuju atau tidak setuju dalam setiap masalah yang terjadi. Utamanya masalah-masalah di atas.

Bangsa ini penuh masalah hampir setiap hari kita temukan. Karena terlalu banyak masalah, membuat orang-orang yang bertanggung jawab terhadap negara menjadi kebingungan untuk bagaimana bisa mencari jalan keluar atau solusi yang tepat dan benar untuk menyelesaikannya.

Kalaupun ada solusi yang dibuat, toh itu tidak sesuai, tidak solutif. Penyelesaian masalah tidak di akar permasalahan. Masalah yang diselesaikan tidak pada hulunya, tapi hanya di hilirnya saja. Jadinya masalah yang sama selalu terulang-ulang. Lihat saja sendiri realitasnya. Wallahu a'lam.(*)