Oleh: Hasbollah Toisuta (Rektor IAIN Ambon)

INDONESIAterkenal sebagai salah satu negara yang penduduknya sangat majemuk di dunia. Dari perspektif agama terdapat enam agama yang diakui oleh negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu, di samping berbagai keprcayaan lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Dari aspek budaya terdapat lebih dari 300 suku dan ribuan sub suku dengan sistim dan nilai budaya yang berbeda, mendiami lebih dari 17.508 pulau yang beraneka ragam membentang dari Sabang hingga Merauke. Demikian pula kemajemukan bahasa dengan sekitar 742 bahasa daerah dan adat istiadat serta mekanisme tertib sosial lainnya. Maka selain sebagai negara maritim terbesar di dunia (archipelago), Indonesia juga terkenal sebagai negara dengan segmentasi sosial (pluralitas/keanekaragaman) yang relatif besar.

Sebagai negara besar dengan tingkat pluralitas masyarakat yang demikian luas membentang, peroblema-problema di sekitar isu-isu keanekaragaman (suku, etnis, agama, bahasa dan budaya) masyarakat  pasti tidak pernah sepi. Bahkan terkadang menjadi diskursus sosial yang relatif serius dan menguras energi kita bersama karena berkaitan erat dengan masalah integritas dan integrasi bangsa Indonesia.

Para founding fathers bangsa ini telah berhasil meletakkan dengan kokohnya Indonesia kita dengan suatu kesadaran sejarah (historicalconsciousness) bahwa bangsa yang besar ini harus berdiri kokoh diatas pondsi kebhinekaannya.

Kesadaran inilah yang kemudian menggerakkan berbagai elemen bangsa ini untuk berjuang menumpas kolonialisme dan imprialisme yang bercokol di seluruh wilayah nusantara. Dapat dipersepsikan bahwa dengan kesadaran kebhinekaan seperti ini maka perjuangan dengan menonjolkan sentimen kedaerahan, kesukuan ataupun keagamaan tidak memiliki “panggung” yang signifikan. Karena semua energi dari segenap komponen bangsa saat itu hanya memiliki satu tekad untuk memerdekakan Indonesia dari keterjajahan.

Intinya hakikat perjuangan para founding fathers kita tidak untuk suku, agama, ras atau golongan tertentu, melainkan untuk satu Indonesia yang utuh dengan segenap kebhinekaannya. Dengan begitu maka Pancasila sebagai ideologi negara yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini menjadi kekuatan perekat dan pemersatu bangsa yang ampuh dan menjadi katup pengaman untuk memelihara persatuan bangsa yang beragam tersebut, meminjam istilah Cak Nur, Pancasila adalah kalimatun sawa’ (titik temu) atau landasan perjumpaan seluruh elemen bangsa.

Dapat dipastikan bahwa para pendiri bangsa ini adalah mereka yang  kemampuan berpikirnya telah melampawi teritori zamannya. Mereka tidak berpikir dalam ruang-ruang primordialisme yang sempit. Perbedaan primordialisme seperti suku, agama, budaya, bahasa hanyalah menjadi bagian dari dialektika berpikir yang kemudian memperkaya wacana dalam pencarian ideologi negara yang finalnya adalah Pancasila. Maka ketika kita berbicara tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejatinya kita harus meleburkan semua kesadaran primordialisme kita dalam satu kesadaran kebangsaan dimana Pancasila menjadi titik perjumpaan dan katup pengaman kita di dalam berbangsa.

Saat ini nasionalisme kita sedang diuji dengan munculnya berbagai macam problematik dalam kehidupan kebangsaan kita. Sejarah kelak menjadi saksi sejauh mana kita mempertahankan komitmen kebangsaan kita. Para elit politik, para tokoh agama, tentara, polisi kaum cerdik cendekia, seniman dan budayawan adalah mereka yang bertanggung jawab untuk mengarahkan sejarah bangsa ini agar tetap berada di atas koridornya yang benar. Karena itu kita juga berharap agar para elit bangsa ini memiliki kualitas berpikir setara dengan para founding fathers kita, Mengutamakan panggilan bangsa dan Pancasila di atas panggilan primordial lainnya.

Belajar dari berbagai peristiwa di belahan dunia kita semestinya bersyukur bahwa negara kita Indonesia dengan wilayahnya yang begitu luas, terdiri dari beribu pulau dengan, pluralitas masyaraktnya berupa segmentasi sosial seperti suku, agama, ras, antar golongan begitu menonjol, namun kita masih mampu membangun kebersamaan.

Di negara-negara Timur Tengah seperti Tunisia, Suriah, Yaman, Iraq, Libya,  Maroko, Mesir, saat ini terjadi perang saudara yang luar biasa dahsyatnya menyusul gagalnya proses demokrasi di negara-negara tersebut sejak 2010 yang secara luas dikenal dengan Arab Spring. Meskipun mereka ini berasal dari satu bangsa (Arab) satu agama (Islam), bahkan satu bahasa (bahasa Arab). Di sini tampak bahwa arogansi kekuasaan tidak pernah mengenal iba pada sesama anak bangsa sekalipun. Melalui media kita mengetahui ribuan korban meninggal dunia, ratusan ribu orang terluka serta ratusan ribu anak-anak tak berdosa harus kehilangan orang tua mereka sebagai penopang hidupnya. Belum lagi ribuan pengungsi yang tidak bisa bertahan di tanah air mereka saat ini sedang di tampung di negara-negara Eropa.

Maka sejatinya kita perlu melakukan refleksi bahwa para pendiri bangsa ini dengan ketajaman mata batinnya telah mampu meletakkan fondasi kebangsaan yang sangat kokoh bagi keutuhan Indonesia kita, dimana ideologi negara Pancasila menjadi kekuatan pemersatu yang sangat efektif dan ampuh untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan begitu kekuatan kita sebagai nation justru ada pada kebhinekaan kita di mana Pancasila menjadi centrum yang merangkai keanekaan suku, agama, budaya, bahasa, golongan adat istiadat menjadi satu kesatuan Indonesia yang utuh dan kokoh.

Berangkat dari itu semua, selayaknyalah kita patut mensyukuri kebhinekaan kita. Karena sesungguhnya problema kebhinekaan suku, agama, ras, bahasa sudah selesai sejak lama, yaitu sejak para pendiri bangsa ini – meminjam istilah Ben Anderson – mengimajinasikan kebangsaan kita, untuk bersatu di dalam perbedaan atau berbeda di dalam persatuan: Indonesia.

Mensyukuri kebhinekaan berarti mencintai keanekaragaman Indonesia, bangga akan kepelbagaian kita, karena keanekaragaman itulah kita menjadi Indonesia. Keanekaragaman itu juga berarti seluruh anak bangsa mulai dari Sabang hingga Merauke tanpa memandang latarbelakang primordialnya memiliki hak yang sama dalam berdemokrasi secara adil dan proporsional.

Dengan begitu tugas kita ke depan selaku anak bangsa tidak lagi mempersoalkan kebhinekaan. Sebab mempersoalkan kebhinekaan sama saja dengan membuang energi untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan merusak eksisitensi kebangsaan kita, sebab kita yakin di dalam kebhinekaan atau perbedaan itu terletak kekuatan kita, merusak kebhinekaan juga berarti melemahkan kekuatan bangsa. Saatnya kita keluar dari ruang-ruang sempit primordialisme kita dan melakukan hal-hal yang lebih substansial bagi keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Disparitas pembangunan antar wilayah, kemiskinan, kebodohan, kesehatan adalah agenda-agenda besar bangsa yang harus dientaskan yang membutuhkan kerja keras bersama. Wallahu ‘alam. (***)