Beralih ke Telegram dan Akhirnya Menjadi Candu?
Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Lulusan Magister Psikologi Sains Universitas Negeri Yogyakarta)
AYO pindah ke telegram! Begitulah seruan yang terdengar agak melengking dari founder telegram. Bagaimana mau pindah? Jujur, beta belum bisa ‘move on’ dari whatsapp! (Kata pemuda Sirimau yang sedang nyender di balik mobil penumpang itu).
Saat ini, sosial media (sosmed) menyuguhi kita dengan beragam aplikasi. Bayangkan saja, di sebelah kiri, ada instagram, facebook, dan whatsapp., aplikasi-aplikasi ini dibawah naungan Mark Zuckerberg. Sedangkan, di sebelah kanan, ada Line, signal, path, telegram, dan twitter.
Semua aplikasi itu menyediakan fitur-fitur menarik, bahkan masing-masing menyediakan sistem keamanan super canggih.
Di tengah maniak bermain sosmed, hadirnya beragam aplikasi itu membuat kita bingung mau pilih yang mana. Ibarat sedang dihidangkan popeda panas dan sagu lempeng di tengah musim hujan, enak sekali dan pingin makan semuanya.
Tak peduli, aplikasi mana yang lebih menarik, intinya pakai saja semuanya, sebagai ladang narsis plus katarsis.
Konon, lahirnya Facebook ini cukup unik. Mark Zuckerberg, pemuda yang minim pergaulan itu tiba-tiba siuman di tengah hari tua. Aha! Aku punya ide gila, katanya. Bagaimana cara agar obrolan teman-teman ku lebih baik dari rumah saja!
Kita tak usah bertemu langsung, tapi lewat dunia digital, khayalan Mark. Sontak, dalam hitungan hari, dia lalu merumuskan algoritma Facebook, dan lahirlah aplikasi biru dengan logo “F”.
Awalnya, Facebook hanya menampung tiga teman, dan Mark terlibat di dalamnya. Lambat-laun, aplikasi ini dipandang unik kawan-kawan se-kampus dengan Mark. Enak sih, ngobrol tanpa bertemu langsung.
Seiring berjalannya waktu, pengguna Facebook mulai banyak dan merambah ke beberapa kabupaten, negara, dan bahkan kini sudah mendunia. Seiring dengan pesatnya pengguna Facebook, tiba-tiba lahir aplikasi lain yakni whatsapp.
Sebelum itu, pernah ada blackberry messenger, namun aplikasi ini terkesan agak lambat. Para pengguna bosan. Akhirnya beralih ke whatsapp.
Whatsapp, di samping cepat mengirim pesan singkat, juga menyediakan emot-emot menarik. Selain itu, dengan whatsapp kita dapat membuat story-singkat berdurasi 24 jam. Ini cocok untuk para penggila narsis.
Di whatsapp, kita juga bisa membuat banyak grup-grup mini dengan anda sebagai admin. Daya tampung grup sebesar 256 orang. Bagaimana dengan sistem kemanan? Tenang. Whatsapp menyediakan end-to-end-encryption, sehingga percakapan anda pasti aman.
Beberapa tahun lalu, whatsapp dibeli perusahaan Facebook, Mark Zuckerberg. Jika sekarang anda buka whatsapp, akan terpampang logo Facebook, sebagai tanda milik Mark.
Whatsapp memang unik. Satu-satunya aplikasi banyak pengguna. Namun, kini, whatsapp mulai mendapat pesaingnya, yakni telegram.
Beberapa analis menganggap bahwa hadirnya telegram sebagai pesaing whatsapp menandakan bahwa “musuh bebuyutan” memang sulit hilang dari peradaban.
Whatsapp, menurut Durof ada kelemahannya. Salah-satu kelemahan whatsapp ialah, (1) sistem keamanannya kurang kuat, dan (2) daya tampung grup whatsapp hanya 256 orang sedangkan di telegram bisa mencapai 5000 orang.
Terlepas dari pertengkaran mereka berdua (whatsapp Verus telegram), intinya saat ini kita masih tetap menjadi penonton setia dengan watak konsumerisme tingkat dewa.
Hadirnya beragam aplikasi sosmed itu tiba-tiba merubah segala unsur kehidupan kita mulai dari politik, budaya, bahkan yang paling esoterik ialah psikologis masyarakat.
Di lihat dari sudut pandang psikologi, hadirnya beragam aplikasi sosmed itu membuahkan empat kelompok kepentingan. Pertama, kelompok kognitif.
Kelompok kognitif cenderung memakai aplikasi sosmed hanya untuk berbagi-rasa-pengetahuan dengan sesama pengguna. Kelompok ini banyak di dominasi para peneliti, dosen, dan penggiat literasi.
Kelompok kedua yakni kelompok populis. Mereka ini terdiri dari para politisi, entah dari yang berwatak hipokrit, oportunis, atau bahkan idealis. Tujuan kelompok ini ialah memantik suasana untuk pengalihan kebijakan, meraih animo masyarakat, dan terkadang memperkeruh suasana publik.
Kelompok ketiga yakni kelompok ekonomis. Mereka ini terdiri dari para pebisnis virtual. Kelompok ini hanya punya satu tujuan, ialah keuntungan materil untuk kehidupan sehari-hari.
Kelompok keempat yakni kelompok “ikut ramai”. Kelompok ini tidak peduli apa yang sedang terjadi. Intinya, hanya berperan sebagai “likers” (penyuka status), dan sesekali unggah hal-hal yang tidak penting.
Dari keempat kelompok tersebut, terkadang muncul gejala psikologis yang dialami para pengguna, yakni “kecanduan ber-sosmed” akibat gila narsis di sosmed. Dunia sosmed telah memberikan kita suasana nyaman, di mana kita sulit pergi darinya.
Sekarang ini, pesan singkat (SMS) sudah tidak menjadi primadona. Semua orang lebih senang keluarkan duit untuk membeli paket internet. Kebutuhan dalam rumah, tagihan listrik melonjak seiring dengan tuntutan membayar IndiHome.
Internet dan sosmed, sudah mengambil alih dunia. Kejadian ini tidak terlalu berlebihan. Semua orang, dari remaja, pebisnis, pendidik, hingga kakek-nenek, tertarik bergabung dengan fenomena tersebut. Semua orang terpapar demam sosmed.
Terlihat, setiap orang menghabiskan waktu paling banyak berselancar di dunia sosmed. Fenomena ini merupakan gejala “internet addiction” (kecanduan internet). Ada empat tipe dari gejala kecanduan ber-sosmed.
Pertama, kecanduan bermula dari upaya untuk memuaskan kepuasan psikologis. Kepuasan ini tergantung pada keinginan meraup besaran likers (penyuka) untuk setiap postingannya.
Kedua, keinginan untuk lebih lama berselancar di dunia sosmed, sembari melupakan aktivitas sosial. Jika dalam sehari tidak ber-sosmed, maka muncul perasaan cemas, depresi, bahkan stres.
Ketiga, pengguna yang doyan sosmed akan memposting segala aktivitas pribadinya di sosmed. Postingan-postingan si pengguna ketika berada di bioskop, tempat kerja, atau bahkan tempat rekreasi. Ini juga merupakan gejala candu dalam ber-sosmed.
Keempat, si pengguna sosmed yang merasa nyaman dengan teman-palsu di sosmed. Mereka lebih memilih berteman, mencurahkan gundah-gulananya dengan akun-akun di sosmed, dibanding di dunia nyata (***)