BERITABETA.COM, Jakarta - Tujuan pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak [BBM] untuk mengurangi beban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dinilai bukan lagi menjadi kebijakan yang paling efektif untuk memenuhi tujuan tersebut.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan.

“Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, namun tentu bukan mustahil. Sebaiknya pemerintah dapat menghapus subsidi BBM secara bertahap,” kata Faisal  dalam tulisan di website pribadinya.

Ia bahkan menilai penghapusan Kebijakan subsidi BBM akan lebih baik demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa.

"Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan," kata Faisal.

Ia menilai, subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak, pada dasarnya akan menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial dan lingkungan yang signifikan dan bertentangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kondisi dilemma ini juga disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.

Menurutnya, semenjak menyampaikan tambahan subsidi dan kompensasi untuk BBM dan listrik kepada DPR, harga minyak mentah dan ICP tidak kunjung turun, justru menunjukkan tren yang semakin meningkat.

Melihat outlook harga minyak sampai dengan akhir tahun yang diterbitkan oleh EIA menunjukkan harga minyak di US$104,8/barel dan berdasarkan forecast konsensus harga minyak bahkan mencapai US$105.

“Jadi waktu kita membuat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yang sudah dibahas dengan DPR dengan harga minyak US$100/barel, jelas bahwa menurut forecast dari konsensus maupun dari energi organization itu US$100/barel itu lebih rendah dari kemungkinan realisasi. Hari ini pun kita juga lihat harga minyak juga masih di atas US$100,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers akhir pekan ini.

Namun demikian meski harga minyak mentah dan ICP terus meningkat, harga jual eceran (HJE) energi untuk masyarakat tidak berubah. HJE karena adanya subsidi Pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan harga keekonomiannya.

Dikatakan, saat ini, harga solar yaitu Rp5.150/liter. Jika menggunakan ICP US$105 dan kurs rupiah Rp14.700/US$ maka harga solar harusnya di Rp13.950/liter.

“Jadi harga yang dijual kepada masyarakat itu hanya 37 persennya. Artinya masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya atau harga riilnya, Rp8.800/liter,” tandasnya.

Selanjutnya, untuk Pertalite yang saat ini berada pada harga Rp7.650/liter, maka dengan ICP US$105 dan kurs nilai tukar Rp14.700 harga keekonomiannya seharusnya Rp14.450/liter. Artinya, harga Pertalite sekarang ini hanya 53 persen dari yang seharusnya.

Selanjutnya untuk Pertamax pun yang sekarang harganya di Rp12.500/liter, seharusnya memiliki harga Rp17.300/liter.

“Jadi bahkan Pertamax sekalipun yang dikonsumsi oleh mobil-mobil yang biasanya bagus, berarti yang pemiliknya juga mampu, itu setiap liternya mereka mendapatkan subsidi Rp4.800,” tandas Menkeu (*)

Editor : Redaksi